Linimasa media sosial ramai. Ajakan untuk melakukan gerakan #Boikot dikumandangkan. Dalam konteks komunikasi, hal ini harus dipahami sebagai bentuk penyampaian pesan non verbal.
Pola distribusi pesan tersebut tampil melalui gerak-gerik dan laku tingkah. Sudah barang tentu, dalam kajian aksi-reaksi, maka bentuk penyikapan #Boikot tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari sebuah rangkaian kejadian yang tidak terpisahkan.
Pro-kontra atas ajakan #Boikot tersebut menjadi bagian yang mewarnai diskusi. Perdebatan di ruang publik, seberapapun kerasnya menjadi wadah pengujian kedewasaan berdemokrasi, problemnya harus terdapat kesadaran untuk memisahkan ruang percakapan dari ekses potensi tindakan kekerasan yang menyertai.
Tindakan kekerasan yang timbul sebagai akibat pelecehan keyakinan Agama perlu dikecam, sebagaimana kecaman juga patut disampaikan pada upaya penghinaan Agama itu sendiri. Perlu sangat cermat dan berhati-hati berbicara di ruang sensitif atas perbedaan nilai spiritualitas keagamaan.
Problemnya, sesuai teori konflik, seharusnya dibuka ruang dialog guna mencapai resolusi. Dengan begitu pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyebut Islam sebagai Agama dalam krisis, bahkan akan terus memberikan ruang bagi penguatan sentimen Islamophobia sebagai bentuk kebebasan, jelas merupakan kekeliruan.
Respon balik atas apa yang disampaikan Macron, tentu menjadi lebih menguat pada berbagai negara dengan mayoritas penduduk muslim. Di tanah air, Majelis Ulama Indonesia menyampaikan kecaman dengan seruan boikot.
Demikian pula patut diapresiasi pernyataan resmi pemerintah Indonesia yang mengecam keras peristiwa kekerasan di Prancis, sekaligus meminta agar tidak mengaitkan agama dengan tindakan terorisme. Kedua hal tersebut berbeda dan terpisah.
Strategi Boikot
Berlanjutnya reaksi atas pernyataan Macron, dengan seruan #Boikot yang bergema di media sosial, adalah bentuk ekspresi sekaligus pernyataan sikap yang menegaskan kecaman atas kekeliruan cara pandang Macron.
Hikayat boikot merupakan bagian kisah dari Charles Boycott seorang tuan tanah di Inggris yang menolak menurunkan harga sewa lahan garapan yang dibalas dengan penolakan menggarap lahan oleh para buruh tani.
Sejarahnya di Nusantara, terbentang sejak zaman Mataram dengan aksi mepe, yakni berjemur dan berdiam serta tidak melakukan apapun sebagai bentuk protes atas suatu hal.
Pada banyak studi kasus modern, boikot kerap dikaitkan dengan seruan untuk menolak melakukan pembelian untuk suatu tema yang tidak disepakati. Sebelumnya, bahkan produk sawit Indonesia juga diboikot Uni Eropa, terkait dengan isu lingkungan.