Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Konstruksi Komunikasi Vaksin

Diperbarui: 29 Oktober 2020   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi vaksin (SHUTTERSTOCK/Orpheus FX) via kompas.com

Harapan. Sudah sejak jauh hari, keberadaan vaksin disebut sebagai game changer atas pandemi Covid-19. Dengan begitu, asa untuk keluar dari situasi serba sulit seperti saat ini, akan segera dituntaskan, kehadiran vaksin akan menjadi babak endgame bagi Covid-19.

Sejauh harapan itu dilabuhkan, pada akhirnya kita memang harus kembali pada situasi riil yang tengah kita hadapi sekarang, bahwa belum ada vaksin yang telah tuntas menjalani proses penelitian secara final. Dalam batas waktu penantian itu, kesabaran untuk menunggu vaksin berhadapan dengan kelelahan psikologis publik.

Karena itu pula Dr Tedros Adhanom menyebut istilah pandemic fatigue, kondisi ini tercipta setelah sekian lama umat manusia seolah terpenjara dalam dunia kehidupannya, serta dilepaskan dari akar sosialnya. Tidak mudah, tetapi itu menjadi bagian kontribusi kita dalam perjuangan melawan Covid-19.

Menurut Dirjen WHO tersebut, harus diakui bahwa pandemi adalah medan perang fisik dan psikologis. Dengan begitu, harus terdapat upaya bersama dalam mengatasinya, bertumpu pada ilmu pengetahuan -science, berorientasi solusi -solutions, dengan menjalin solidaritas -solidarity.

Kerangka yang dibutuhkan agar ketiga pilar itu bisa dijalankan adalah dengan membangun kesadaran publik sebagai ekspresi kepentingan bersama, bahwa akan terjadi proses transaksi dalam kerangka kompromi dan penderitaan. 

Mengapa begitu? Karena belum ada yang dapat memastikan bagaimana pandemi berakhir, kita akan tersiksa karena implementasi lockdown, tetapi tidak banyak pilihan lain. Karena itu, seluruh pihak harus mampu mengkompromikan banyak hal, atau yang disebut Dr Tedros sebagai trade off, compromise and sacrifice.

Lalu, bagaimana dengan vaksin Covid-19 yang sudah mulai dipromosikan sebagai penuntas pandemi kali ini? Selayaknya pilar pertama mengatasi pandemi, maka tumpuan yang menjadi dasar fundamental mengatasi Covid-19 adalah aspek ilmu pengetahuan -science.

Bila menyebut vaksin menjadi sarana ampuh guna mengatasi pandemi, maka harus terlebih dahulu dilakukan pembuktian keabsahan secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, melalui metode ilmu pengetahuan secara terbuka. Kaidah pengujian ilmiah harus dipergunakan, notabene mewajibkan prinsip valid dan empirik.

Vaksin di Media Sosial
Jika mengacu pada hasil temuan drone emprit, melalui hasil analisis percakapan di media sosial Twitter, sebagaimana terbaca pada hampir 4.5K pembicaraan sepanjang 21-29 Oktober 2020, maka netizen terbagi ke dalam beberapa cluster, pertama: para ilmuan dan tenaga profesi kesehatan, kedua: media online dan ketiga: khalayak media sosial.

Sentimen dari seluruh percakapan memperlihatkan bahwa, sekitar 71 persen pengguna sosial media menanggapi positif keberadaan vaksin dalam waktu dekat, sisanya 28 persen justru sebaliknya bersentimen negatif.

Problemnya, mereka yang bersuara dalam sentimen negatif dikontribusikan oleh ilmuwan dan tenaga kesehatan. Hal itu pula yang terlihat melalui surat organisasi profesi IDI yang dilayangkan kepada Menteri Kesehatan (21/10) untuk meminta kecermatan serta kesiapan penuh dalam kehati-hatian, baik untuk pemilihan vaksin maupun pelaksanaan vaksinasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline