Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Konstruksi Pandemi dalam Sejarah

Diperbarui: 23 April 2020   18:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pandemi. (sumber: shutterstock)

Tampil dengan seribu wajah. Pandemi hadir dalam setiap peradaban manusia. Wabah silih berganti mengancam eksistensi kehidupan. Dalam situasi pandemi, terjadi konstruksi sosial yang menyertai.

Pengalaman kesejarahan manusia, memunculkan hal tersebut. Pandemi selalu gagap dihadapi. Mengecilkan persoalan kerap terjadi, hingga wabah menjadi tidak terkendali. Kita tersadar, mengevaluasi.

Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Jasmerah sebut Bung Besar. Dalam agenda kesejarahan ada pelajaran penting yang dapat dipetik. Melalui buku Yang Terlupakan, Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, Priyanto Wibowo dkk, 2008 kita mendapatkan kesesuaian kisah yang menarik.

Kasus pandemi 1918, di wilayah kolonial saat itu, hanya dianggap angin lalu. Laporan dari berbagai daerah perkebunan dilihat sebelah mata. Kematian mendadak belum dianggap sebagai masalah. Pandemi terjadi, di lingkup situasi perang dunia I.

Sepintas Pagebluk

Penyangkalan adalah cara termudah yang menjadi jawaban, atas kurangnya pengetahuan. Menghindari masalah, ketimbang merumuskan jawaban. Perilaku kekuasaan kerap kali begitu. Hingga kemudian, kasusnya berlangsung secara masif.

Tanpa pandang bulu, pandemi mengancam siapa saja. Asumsi awal ditempatkan pada persoalan daya tahan tubuh kelompok pribumi yang lemah, karena asupan nutrisi yang rendah, terbantahkan.Tuan-tuan tanah juga mengalami kesakitan hingga kematian. 

Perkembangan transportasi, mempercepat proses penularan antar manusia. Pelabuhan sebagai pusat lalu lintas serta mobilisasi orang, menjadi ruang persebaran wabah. Semua berlaku sederajat, untuk rentan tertular maupun menulari.

Disebut pagebluk, karena dampak kematian yang sangat cepat. Singkatnya maut menjemput melalui wabah, karena pagi hari seseorang masih terlihat sehat, lantas sorenya jatuh tersungkur -gebluk, lalu mati. Kemungkinan penularan terjadi sebanding.

Pembedanya adalah akses kesehatan, rakyat kebanyakan buruh perkebunan saat itu memang memiliki keterbatasan dalam persoalan pelayanan kesehatan. Pengobatan tradisional, bercampur hal-hal mistik tidak cukup memberi ruang kesembuhan.

Kekacauan terjadi, ilmu pengetahuan menjadi pembeda dalam garis tegas. Pencatatan, pengorganisian, pemisahan antara yang terindikasi sakit dengan komunitas, serta edukasi kebiasaan sehat dilakukan, mulai memperlihatkan hasil. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline