Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Komunikasi dan Demokrasi di Warung Kopi

Diperbarui: 25 Februari 2020   15:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: lakon hidup

Ngopi wuoy ngopi, Diem-diem Bae!

Pernah dengar celetukan seperti itu? Sebuah kalimat lelucon, yang mengilutrasikan bagaimana kegiatan menyeruput secangkir kopi, menjadi kegiatan menyenangkan, sekaligus membangkitkan gairah dan semangat. Sejarah kopi bahkan merentang hingga mewujud sebagai ruang publik dalam demokrasi.

Tidak pernah diketahui kapan persisnya biji hitam itu mulai dikenal manusia. Sekurangnya, dari penelusuran sejarah, justru kawasan Afrika yang mengawali perkenalan dengan jenis biji yang dianggap membangkitkan energi tersebut. Selanjutnya, persentuhan kopi melintas ke jazirah Arab.

Bahkan kehadiran kopi, sempat dianggap menjadi bagian dari persebaran Islam. Ibnu Sina seorang ilmuwan kala itu, sempat melakukan penelitian permulaan, terkait zat kimiawi yang terkandung pada kopi dan minuman yang diseduhnya. Hingga kemudian, kebiasaan minum kopi mendarat di benua Eropa.

Sepanjang kehadiran kopi, sekurangnya pada tahun 1675, kegiatan berkumpul dan meminum kopi sempat dilarang oleh Kerajaan Inggris, oleh Raja Charles II, karena berasosiasi dengan kesepakatan untuk bertindak makar. Kopi mulai memiliki nilai politik.

Lebih jauh lagi, kopi sebagai sebuah komoditas dunia terjadi secara besar-besaran di era 1700-an. Kala itu, biji dan bibit kopi mulai diperkenalkan dengan penanaman di berbagai wilayah jajahan Eropa. Di Jawa sendiri, kopi sudah mulai ujicoba tanam pada 1696. Selanjutnya Brazilia dan Jamaica.

Warkop, Ruang Publik

Kegiatan meminum kopi tidak lepas dari situasi berkumpul dan bersama. Menciptakan ruang besar secara terbuka, berbagi kehangatan. Sekurangnya, di Indonesia, sebelum era kafe pada berbagai pusat perbelanjaan, maka warung kopi menjadi identik sebagai simbol titik kumpul merakyat.

Bentuk kumpulan yang menjadikan kopi sebagai pemersatu itu, terbaca jelas dalam konstruksi Andi Mirza Ronda, 2019, melalui Komunikasi Sosial dan Demokrasi Warung Kopi. 

Uraian dari penelitian dalam buku tersebut, mencoba menarik korelasi adat budaya di masyarakat Makassar, Sulawesi Selatan, dengan bekal prinsip Tudang Sipulung -duduk berkumpul, dengan prinsip demokrasi dan ruang publik.

Fenomena berkumpul, dan minum kopi bersama, menjadi ruang egaliter di warung kopi. Ekspresi bebas diutarakan, menjadi ruang yang lega untuk menyalurkan pendapat dan opini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline