Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Komunikasi Meleset ala Kabinet Indonesia Maju

Diperbarui: 29 November 2019   11:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Presiden Jokowi saat membuka rapat kabinet paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10/2019). Ini adalah rapat pertama yang digelar di era Jokowi-Maruf.| Sumber: Kompas.com/Ihsanuddin

Dalam politik, tidak ada yang kebetulan. Bahkan sebuah peristiwa yang nampak natural dan tanpa kesengajaan sekalipun, patut dilihat dalam kerangka setting terencana. 

Rentetan diskursus yang dimunculkan melalui para menteri sebagai pembantu tugas dan kerja-kerja bagi presiden, tampak bertalian dan bersusul-susulan. Sayangnya, tones dan intensinya seragam. 

Problemnya, redaksi yang dipergunakan bukan dipergunakan untuk memfokuskan diri pada kerangka percepatan pembangunan. Apa yang hendak ditunjukan melalui wacana publik, justru seolah berbalik arah.

Narasi besarnya masih sama sejak awal didengungkan saat pembentukan kabinet, dengan tema sentral radikalisme. Pada titik utama itu, kemudian entitas kabinet, mendekatinya dengan berbagai model pendekatan.

Pembentukan SKB Menteri yang melibatkan 6 kementerian dan 5 kepala lembaga, semakin menegaskan hal tersebut. Tajuk pokoknya adalah "Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara".

Sekali lagi, ketegasan pemerintah melalui penegasan ketetapan bersama tersebut, seolah menempatkan prioritas penanganan radikalisme menjadi solusi paripurna dari persoalan utama kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. 

Terlihat terdapat urgensi kedaruratan dari penanganan permasalahan ini, sehingga perlu diterka kemana akhir muaranya.

Buntut Panjang Kontestasi Politik
Pada pemaknaan yang lebih mendalam, pemerintah hendak mendorong proses stabilisasi. Tidak berhenti dengan merangkul lawan politik, termasuk membangun koalisi gemuk dalam berbagi konsesi kue kekuasaan. 

Sekaligus berupaya mendapatkan legitimasi, untuk membungkam suara berbeda. Indikator utamanya, terlihat dari belum serempaknya definisi radikalisme yang diformulasikan secara rigid. Semua berpendapat berbeda soal ukuran tersebut.

Bila kemudian aturan itu diimplementasikan, maka kategorisasi radikalisme bisa sangat bergantung pada pikiran subjektif kekuasaan. Dan untuk itu, kritik publik akan dengan mudah dianggap sebagai bentuk radikalisme terhadap kepentingan kekuasaan.

Kali ini batas wilayahnya dimulai dari lingkup aparatur sipil negara, bukan tidak mungkin diperluas ke seluruh penjuru kehidupan publik. Keragaman berpendapat menjadi terancam, menuju keseragaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline