"Sesungguhnya, kita memang tengah hidup di periode surveillance capitalism. Penyedia platform menjadi pengawas di tengah asyik masyuknya kita bermedia sosial."
Bukan kebetulan kalau soal dewan pengawas dalam UU KPK menuai polemik. Posisinya sebagai pengawas nampak seolah menempati kedudukan yang lebih tinggi. Terlebih, fungsinya masuk ke wilayah praktis untuk memberikan izin bagi kerja-kerja KPK.
Sesungguhnya, mekanisme pengawasan telah dilakukan secara dalam era internet. Hampir semua kejadian terdokumentasi secara digital dan mampu diakses oleh seluruh publik. Maka rekam jejak digital menjadi bentuk pembuktian yang vital.
Problemnya, ada perbedaan dominasi akses pengawasan antara publik dan pemilik kekuasaan. Penguasa mampu melakukan pengawasan melekat pada publik, dengan seluruh perangkat yang dimilikinya. Pada sisi berlawanan, publik kerap kesulitan mengawasi kekuasaan, bahkan dibungkam.
Kerja-kerja politik di balik layar, dalam sebuah panggung politik, sebagaimana konsep dramaturgi Goffman, memang di setting untuk tidak terlihat oleh para penonton. Di belakang panggung, para aktor kekuasaan membangun skenario bersama.
Walhasil UU KPK muncul hasil kompromi dan negosiasi, sebagian menyebut transaksi di antara kekuasaan. Prosesnya kilat, semua pihak segera bersepakat, membentuk permufakatan bersama untuk memastikan pengawasan bagi institusi KPK.
Ada selisih yang sangat tipis dalam istilah pengawasan tersebut dengan pengambilalihan. Suara dalam perspektif berbeda, menyebutnya pelemahan. Pembuat kebijakan justru bersikukuh menyebut revisi sebagai penguatan. Publik bertanya di jalanan, soal bagian mana yang tengah diperkuat?
Pengawasan Digital
Tidak seberapa lama, terdapat laporan dari para penolak revisi UU KPK. Terjadi pembajakan nomor kontak pribadi, dengan beragam modus. Panggilan tanpa henti dari berbagai nomor aneh, hingga persebaran link digital palsu yang seolah mencitrakan kondisi sebaliknya, yakni dukungan bagi UU KPK.
Kita tidak perlu menduga pelaku, karena itu ranah pihak berwenang. Tapi kita memahami logikanya, setiap persinggungan kepentingan pada kekuasaan, akan melahirkan upaya-upaya untuk mensterilkannya.