Tampil berbeda! Jokowi berdiri didepan para pendukungnya, dan disiarkan secara langsung diberbagai stasiun televisi, berbicara tentang "Visi Indonesia". Paska sidang MK dan penetapan hasil KPU, momentum pernyataan Jokowi kali ini membawa nuansa yang berbeda.
Pada kajian wacana, kita memaknai sebuah teks tidak berdiri sendiri. Terdapat intertekstualitas, dimana terdapat keterhubungan relasional antar teks yang saling bermunculan. Terlebih ada kaitan langsung antar teks dan konteks yang bersinggungan. Maka pidato Jokowi tersebut patut dicermati sebagai narasi dalam kuasa makna.
Pendekatan kekuasaan, ala Foucault, dinyatakan sebagai hal yang menyebar, terdispersi kedalam ragam bentuk. Salah satu yang dapat dibaca dengan jelas adalah pada diskursus, sebagai wacana yang terkandung dalam tubuh bahasa yang dipergunakan sebagai alat kekuasaan itu sendiri.
Dengan demikian, maka "Visi Indonesia" adalah narasi dari representasi Jokowi yang telah terpilih untuk kedua kalinya memperoleh kekuasaan. Cara terpenting dalam membaca sebuah narasi, dapat dilakukan dengan beragam model, (a) hegemonic, wacana itu diterima begitu saja, (b) oposisional, membangun counter narasi dari diskursus yang dibangun, (c) negosiasi, mengambil persetujuan disebagian narasi dan berhadapan secara parsial pada wacana lainnya.
Kelanjutan Narasi
Perlu dipahami, Jokowi adalah incumbent yang kembali terpilih. Hal itu, membuat dirinya harus membangun keterhubungan dari program pada periode pertama kekuasaan. Maka kajian atas narasi dalam "Visi Indonesia" akan dapat dilihat dalam berbagai sektor. Tema yang akan kita lihat mencakup Ideologi, Politik, Ekonomi dan Sosial Budaya (Ipoleksosbud).
Terkait dengan Ideologi, Jokowi berbicara tentang finalnya Pancasila. Bahkan lebih jauh, Jokowi berbicara tentang toleransi agama, sekaligus tidak memberi ruang bagi gangguan atas Pancasila. Salah satu yang perlu dipastikan bagi publik, adalah basis ruang tafsir Pancasila, sehingga juga tidak terjerumus sebagai alat kekuasaan.
Pada pengalaman dimasa lalu, "Pers Pancasila" justru lekat dengan asosiasi pers kekuasaan. Perlu ada upaya membangun konsensus, agar kita juga mampu melihat ke-bhineka-an ragam pandangan sebagai sebuah kekayaan bangsa, yang bisa jadi memang membutuhkan upaya yang lebih intensif untuk melebur, dibandingkan dengan dipaksakan bersatu.
Di aspek politik, Jokowi berbicara tentang narasi oposisi, yang merupakan satu bagian dari kemuliaan demokrasi. Dengan tambahan catatan, tidak asal oposisi yang menimbulkan dendam, kebencian, hinaan, cacian dan makian. Prinsip utama oposisi memang menjadi alat check and balances dari kekuasaan, agar tidak larut dalam kepetingan kekuasaan itu sendiri dan melupakan agenda penting publik.
Kita bersepakat untuk membangun iklim politik yang kondusif, menguatkan partisipasi secara rasional dengan mengedepankan edukasi bagi peningkatan daya nalar publik,sehingga jelas perlu dijauhkan dari hoaks dan hate speech, untuk membangun keadaban kehidupan bersama.
Terkait dengan aspek ekonomi, Jokowi menandaskan perlunya penuntasan pembangunan infrastruktur sebagai sebuah hal yang berkesinambungan, sekaligus membangun kerangka sumberdaya manusia, sembari mendorong laju investasi asing. Hal tersebut, patut dicermati dengan prinsip kehati-hatian, justru karena gejolak global yang terjadi begitu cepat.