Konflik dalam politik adalah hal biasa. Kemampuan membentuk kesetimbangan antara berbagai hal yang saling bertentangan tersebut, adalah karakteristik kepemimpinan. Dengan begitu, pemimpin harus memiliki kemampuan merumuskan resolusi.
Pasca Pemilu 2019, keterbelahan publik karena pilihan politik tidak juga mereda setelah penetapan final dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Perspektif sebahagian publik, berbeda dengan realitas panggung politik.
Kini sorot mata menatap atas apa yang akan dilakukan pemimpin terpilih, untuk menguatkan kembali relasi sosial yang renggang tersebut.
Pada kesimpulan sementara, ada dua narasi penting yang muncul seiring dengan pesta demokrasi.
Diksi "cebong dan kampret" mewakili aspek pendekatan pluralisme dan neo fundamentalisme. Kita perlu memahami perspektif terkait, guna menjadi pisau analisis mengkajinya, untuk keluar dari perangkap kontestasi demokrasi yang tidak berkesudahan.
Seolah, konflik politik tidak mengenal titik temu dan kompromi. Konflik politik, sejatinya adalah konflik nilai dan moral. Dimana kubu "cebong" menepuk dada sebagai penjaga pluralisme, disisi lain kelompok "kampret" tertunjuk menjadi pembawa paham radikal layaknya neo fundamentalisme.
Memaknai Pluralisme
Keberagaman kita, kini terpecah. Bahkan pilihan kalimat "Saya Pancasila, Saya Indonesia" sekalipun, nampak secara salah dipergunakan sebagai upaya menghilangkan ranah perbedaan, yang sejatinya memang hadir dalam kehidupan kemasyarakatan kita.
Tubuh bangsa ini, layaknya sebuah ikatan sosial bersama, dan terus bertumbuh. Proses tersebut, berlangsung secara berkelanjutan, bukan sekedar titik final yang berhenti pasca kemerdekaan.
Pada situasi politik yang mengalami perbenturan melalui proses "menjadi" tersebut, maka ada moralitas yang dijadikan sebagai panduan bersama. Setidaknya, melalui The Morality of Pluralism, (John Kekes, 2013), mencoba mengajukan alternatif model dalam melihat persoalan moralitas dan konflik.
Imajinasi tentang pluralisme, akan sangat terkait dengan peran vital moralitas. Sekurangnya, dibutuhkan komitmen pada nilai-nilai yang berlaku, sebagai bentuk dari kesadaran reflektif. Dimana negara, memberi ruang politis sesuai dengan kehidupan berwarga negara yang penuh pluralitas.