Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Kompas dan Bola Liar Sosial Media

Diperbarui: 30 Maret 2019   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Mencermati tulisan Redaktur Senior Kompas Ninok Leksono (26/3), menjadi jawaban atas apa yang berkembang seiring dengan rilis temuan survei Kompas (20/3) terkait dengan kalkulasi elektabilitas Pilpres, yang menyatakan terpangkasnya jarak antar kandidat sekitar 11 persen.

Pasca mengumumkan hasil survei, diskusi di media sosial semakin menjadi, terutama bagi para pendukung petahana. Maklum saja, meski Kompas berupaya selalu mencitrakan dirinya secara netral dan independen, kita dapat membaca serta menempatkan pendulum arah dari tensi politik Kompas.

Mengapa begitu? Sepanjang sejarahnya, Kompas memang selalu menjadi benteng penengah ideologi, dengan basis nasionalis. Dengan demikian, arah mata angin agaknya dapat terlihat, meski memang Kompas sedemikian menjaga keberimbangan. Bahkan pernah disimbolkan sebagai praktik jurnalisme kepiting, tidak langsung dan lurus melainkan berjalan menyamping serta memutar.

Apa yang hendak disampaikan Ninok Leksono, bukan sekedar pembelaan atas Ninuk Pambudy yang bertindak sebagai Pemimpin Redaksi Kompas, tetapi sekaligus mencoba mengkonsolidasi kembali posisi Koran Kompas di tahun politik ini. Penegasan Ninok akan pijakan harian Kompas berkaitan dengan aspek kredibilitas.

Ninok menjadi pendekar yang turun gunung, alih-alih memberi ruang klarifikasi individual bagi tuduhan publik akan kepentingan subjektif Ninuk sebagai Pemimpin Redaksi yang memiliki kedekatan pribadi dengan salah satu pasangan calon kontestan dalam Pilpres kali ini, Kompas melalui Ninok melakukan counter narasi tidak langsung dalam rangka menciptakan situasi objektif non personal.

Kenyang makan asam garam media cetak, yang kini tengah mengalami disrupsi akibat guncangan teknologi informasi dan sosial media, membuat Kompas harus melindungi eksistensi dirinya, agar tidak semakin tergerus. Maklum, segmentasi target pembaca Kompas juga terkonstruksi oleh arah angin editorial koran itu sendiri, sehingga mengalami kekecewaan dengan interpretasi hasil survei Kompas.

Ninok mencoba menyatakan fakta adalah hal suci secara mendasar, sementara interpretasi memang akan dapat diterjemahkan secara bebas oleh semua pihak. Agaknya Ninok benar dalam hal itu, karena dalam bahasa yang sangat berhati-hati, Kompas sesungguhnya hendak menyebut bahwa elektabilitas petahana yang di bawah angka psikologis 50%, itu pun masih cukup aman serta jauh dari kejaran oposisi, terlebih dengan selisih dua digit.

Problemnya emosi pembaca sudah terlanjur terbentuk, terutama karena amplifikasi sosial media yang mencoba membangun relasi hasil survei Kompas dengan hubungan sosial individu Pemimpin Redaksi Kompas Ninuk Pambudy pada kubu oposisi, dengan menggunakan metode yang Ninok sebut sebagai "cocok-ology" dikait-kaitkan.

Respon Gagap Media Konvensional

Ketika hasil survei Kompas menjadi bahan pergunjingan tentang tendensi yang hendak dibawa oleh koran terbesar nasional tersebut, gaung di sosial media yang menolak dan memunculkan upaya mendelegitimasi Kompas terus terjadi. Hingga enam hari kemudian tulisan Ninok ditampilkan untuk menampik semua tuduhan tersebut.

Artikel Ninok kemudian direplikasi berbagai saluran media dalam jejaring Kompas, termasuk koran daerah yang dikelolanya. Tapi menanti klarifikasi yang begitu lama, tentu berkonsekuensi pada hantaman sosial media yang bermain dalam viralitas publik. Framing di jagad maya terbentuk, karena informasi media cetak tidak utuh ditampilkan, dan itu fatal bagi Kompas. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline