Setelah doa yang tertukar, kini ada doa yang mengancam. Meski konteksnya berbeda, keduanya memiliki kesamaan, yakni ada dalam lingkup wilayah politik. Tulisan ini tidak hendak menjadi tafsir atas urusan vertikal tersebut, karena keterbatasannya. Justru hal menarik dalam kondisi kekinian adalah melihat bagaimana komunikasi religiusitas masuk menyusup ke ruang publik, yakni panggung politik.
Politik domestik tidak pernah lepas dari warna keagamaan, sebagian pengamat berbicara tentang politik identitas. Hal itu sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak awal rintisan kemerdekaan dengan kemunculan Sarekat Dagang Islam. Jadi meninggalkan basis identitas keagamaan dalam kancah politik lokal adalah hal yang mustahil.
Bahkan pada periode permulaan pasca kemerdekaan, Presiden Soekarno menginisiasi Nasakom sebagai identifikasi kekuatan kehidupan kebangsaan. Periode transisi orde lama ke orde baru, merumuskan struktur fundamental baru dari sendi kekuatan politik bangsa yakni agama dan nasionalisme, sementara komunisme resmi dinyatakan terlarang.
Bersamaan dengan berkembangnya orde baru, wajah politik mengalami perubahan, dari keberagaman menjadi keseragaman. Representasi agama dipisah dari keterhubungannya pada dunia politik, meski tetap dimunculkan melalui simbolisme partai politik Islam yakni PPP, tetapi kekuasaan orde baru sangatlah hegemonik tanpa terbantahkan, hingga menumpulkan narasi berbeda, proses depolitisasi tertanam di benak publik.
Lantas, pernyataan legendaris itu muncul, "Islam Yes, Partai Islam No" semakin menegaskan bahwa asas tunggal Pancasila dengan paradigma stabilitas pembangunan telah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial politik saat itu. Tiba pada masa kejatuhan orde baru dan fase reformasi, euforia kebebasan menghasilkan begitu banyak barian politik, termasuk pula dinamika partai-partai berbasis agama, tidak hanya Islam kala itu.
Waktu berlalu hingga hari ini, partai berbasis identitas yang memiliki kemampuan survival politik dalam kompetisi yang tinggi, menyisakan partai-partai Islam. Meski terkadang tidak dinyatakan secara terbuka, partai-partai tersebut memiliki afiliasi pada kelompok ormas Islam di tanah air, seperti NU dan Muhammadiyah. Lalu politik berbasis identitas lainnya melebur ke berbagai kanal partai lainnya, fusi alamiah terjadi.
Realitas Politik Identitas
Apa hubungan doa dalam politik identitas berbasis agama kali ini? Realitas kompetisi politik kita hari-hari ini terfragmentasi dalam bentuk yang diperhadapkan, seolah mengilustrasikan dua kekuatan besar yang teridentifikasi pada bagian sebelumnya, yakni agama dan nasionalis. Maka kemudian berkumandang "Saya Pancasila" dan "Ijtima Ulama". Tapi ada paradoksal dalam tubuh keduanya.
Kelompok yang merepresentasi nasionalis kerap gugup bila berhadapan dengan isu komunisme, bahkan untuk sekedar menonton film G30S PKI. Di sisi yang berbeda, perwakilan kelompok agama, juga tidak tegak bila berhadapan dengan alat ukur keagamaan. Maka jelas bahwa ranah besar ideologi, memang telah terperangkap pada pragmatisme politik.
Tapi apakah dengan demikian simbolisasi dan upaya membangun representasi atas ideologi tidak diperbolehkan? Tentu saja tidak ada yang melarang, tapi hal itu sekaligus menandakan kegagalan partai politik dalam mengartikulasikan ideologi, bagi pondasi keberadaan organisasinya. Dengan begitu, politik identitas adalah bentuk dari rasionalisasi praktis ranah politik kita dewasa ini. Tentu posisinya dapat dipandang sebagai sebuah terobosan dari kebuntuan ideologis, atas kepungan modernitas yang serba instan.
Komunikasi Religius
Dalam bentuk komunikasi religius, doa adalah urusan makhluk dalam kapasitas sebagai hamba dengan sang Khalik. Religious sendiri didasarkan pada kata latin religio yang bermakna mengikat atau bersatu. Jadi, doa sebagai bagian dari religiusitas tidak terpisahkan dari kehendak bersatu, berpadu dalam kelompok yang memiliki persamaan pandangan.