Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Mengadili Perasaan melalui Angka

Diperbarui: 15 Februari 2019   03:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

*)Sebuah sanggahan Reflektif  

BAPER! Perasaan itu emosional, bagian lain dari rasionalitas yang tidak mudah dikuantifikasikan. Tulisan Anggoro Budi Nugroho (Kompas, 14/2) dalam artikel opini "Perasaan Menderita" seolah hendak mengajak kita untuk melihat data-data objektif secara utuh, serta meyakini bahwa keberadaan angka-angka tersebut mewakili representasi sebuah kenyataan, bahwa teriakan dan suara-suara yang mengumandangkan perasaan sulit, kondisi yang membelit, rasa kesusahan adalah sebuah kertas kosong dengan bias penilaian subjektif.

Angka-angka diatas kertas memaparkan hal sebaliknya, indeks gini, angka kemiskinan, nilai pertumbuhan ekonomi ada dalam trend perbaikan. Maka upaya mendekonstruksi data dalam angka statistik itu, melalui ekspresi perasaan tidaklah menunjukan apa sesungguhnya terjadi. 

Dalam makna yang lugas, bisa jadi hal tersebut bertendensi politis, maklum saja kita tengah berada di tahun politik. Selain itu, statemen tentang rasa susah tersebut pada akhirnya membentuk kesenduan kolektif yang pesimistik, selalu takut akan masa depan nan suram.

Benarkah sedemikian? Perlu uji konsistensi. Aspek ilmiah dalam pandangan deterministik, mengandaikan kemampuan untuk dapat diujicobakan dalam kurun waktu durasi pengamatan yang lebih panjang. Tetapi dalam bahasa yang puitis, ketakutan adalah cara pandang dalam membangkitkan semangat secara berbeda. 

Buktinya, krisis ekonomi '98, yang dalam angka ditampilkan secara kepayahan, menghasilkan semangat hidup melalui mekanisme entrepreneurship, lihat saja fenomena warung cafe tenda yang merajalela saat itu.

Angka dan data statistik bukanlah segalanya. Realitas ditampilkan dalam bentuk angka, rasio dan hasil kalkulasi statistik meminta diakui sebagai representasi dalam mewakili suara hati. Lantas salahkah keluh kesah? 

Keresahan sesungguhnya adalah bentuk skeptisisme melihat kenyataan, sifat tersebut melekat untuk memajukan dialektika, menumbuhkan antitesa baru dalam kontradiksi serta menghasilkan sintesis yang terbaik. Bila dinamika dalam dialektika berhenti, mungkin kita tengah berhadapan dengan kebuntuan, atau sebagai upaya untuk menciptakan penerimaan dominasi bagi kepentingan kekuasaan tertentu.

Tentu, kita percaya aspek ilmiah dari suguhan data yang muncul ke permukaan di ruang publik, bahwa perumusan informasi melalui data, yang diterjemahkan menggunakan serangkaian formula berbentuk angka, adalah upaya mendekati realitas  secara terukur. 

Namun kita tentu tidak bisa menghilangkan penilaian lain yang tidak termuat melalui angka. Angka produktivitas pertanian, tidak serta merta mewakili keringat buruh tani, yang berpeluh sebagai petani penggarap dan bukan tuan tanah.

Terdapat banyak kerancuan yang hendak dibangun melalui cara berpikir positivistik, determinisme angka kuantitatif dinyatakan sebagai kebenaran tunggal, padahal perasaan adalah bentuk dari kata sifat yang acapkali disembunyikan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline