Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Krakatoa, Kisah tentang Kecilnya Manusia

Diperbarui: 28 Desember 2018   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kejadian Tsunami Anyer yang baru-baru saja terjadi, jelas membawa duka. Kita bersimpati atas para korban. Musibah akibat terjangan ombak dari longsoran hasil erupsi anak Krakatau, ternyata luput dari pantauan. Polemik selalu terjadi paska bencana.

Tentu saja kita perlu belajar dan mengevaluasi diri atas kejadian ini, karena alam memiliki kemampuan destruktif yang kerapkali sulit diprediksi, tetapi tentu saja tidak menghilangkan keharusan untuk bersikap waspada dalam kesiapsiagaan.

Paska bencana, pembahasan yang mengemuka tentu saja tentang siapa yang seharusnya mengambil peran dan bertanggungjawab atas kegagalan proteksi dan pemberitahuaan peringatan dini sebagai antisipasi bagi publik.

Tetapi kita tinggalkan hal tersebut, karena faktornya menjadi sedemikian kompleks, mulai dari minimnya dana yang tersedia, rusaknya fasilitas peralatan yang ada, serta ketidakmampuan untuk mengestimasi potensi bencana.

Selayaknya sebuah bencana, maka kita tentu tidak pernah berharap terjadi, tetapi harus terdapat upaya untuk dapat mempersiapkan diri berhadapan dengan situasi alam yang kita huni saat ini. Krakatau, memiliki sejarah panjang dalam riwayat ledakan yang massif, sebagaimana ditampilkan melalui film produksi BBC, "Krakatoa, the Last Day" pada 2006 silam.

Sebuah film yang ditampilkan dari kisah nyata atas kejadian ledakan yang mahadahsyat bertahun 1883 itu, menyisakan nestapa sebagaimana yang kini kita rasakan. Gelegar Krakatoa saat itu, secara epik erupsi terjadi tidak hanya menghasilkan gelombang Tsunami yang mampu merubuhkan menara mercusuar Anyer, tetapi juga secara bersamaan menimbulkan gelombang awan material panas yang terhembus saat ledakan gunung berapi itu terjadi, menerjang dalam radius jangkauan nan luas, walhasil sejauh mata memandang terjadi kerusakan.

Posisi induk Krakatau saat itu, setelah mengalami erupsi tanpa henti kemudian menyebabkan kekosongan dapur magma, hingga akhirnya menyebabkan keruntuhan dinding penyangga gunung secara gigantik.

Akibatnya, sebagaimana longsoran yang terjadi saat ini, material yang jatuh ke laut menghantarkan massa tambahan ke bibir pantai sebagai Tsunami. Hukum Archimedesterkait benda yang tertumpahkan dari bejana, yang setara dengan volume benda masuk kedalam bejana itu sendiri, seolah dapat mengilustrasikan betapa dahsyatnya Tsunami susulan itu terjadi.

Melunakan Ego

Tentu bukan pada tempatnya tulisan ini dijadikan sebagai resensi filmografi, karena bukan disitu letak persoalan yang hendak diperoleh melalui efek pembelajaran darispirit film tersebut. Banyak hal yang dapat dijadikan sebagai evaluasi, terutama tentu saja tentang ketidakmampuan kita untuk melihat gelagat alam secara cermat, atau bahkan kerap mengabaikan situasi perubahan yang terjadi.

Bencana adalah bentuk kerusakan yang terjadi tanpa pernah dirancakan waktu dan tempatnya, dengan demikian manusia perlu untuk memberikan ruang bersahabat dengan tempat kehidupannya tersebut. Kerusakan alam juga kerapkali terjadi, tanpa disertai dengan bentuk bencana alam, bahkan seringkali justru terjadi akibat tangan-tangan manusia yang membuat kerusakan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline