Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Politik Dimensi Tunggal ala Marcuse

Diperbarui: 19 Desember 2018   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menjual sensasi! Periode kontestasi politik kali ini, baik dari kubu petahana maupun oposisi belum mencapai substansi. Mungkin saja bagian dari strategi. Tetapi jangan sampai fase pemanasan justru lebih menguras banyak energi dibandingkan, menu utamanya yakni pertukaran gagasan atas solusi persoalan kebangsaan. Justru menjadi sebuah kegagalan, jika tahap warming up kampanye politik malah menghasilkan turunan problem baru menambah kerumitan permasalahan yang kita hadapi.

Masa kampanye yang diekspose melalui fungsi media massa, menciptakan keberlimpahan informasi yang harus dicerna dengan sangat ekstra hati-hati oleh publik. Sayangnya, kapasitas amplifikasi dalam penguatan pesan yang hendak disampaikan oleh para calon dan tim sukses ternyata bekerja jauh lebih cepat, dibandingkan dengan waktu cerna informasi oleh publik itu sendiri. Sehingga setiap hari, isu dan tema berganti sangat dinamis, sekali lagi masih dipersoalan epidermis -kulit permukaan.

Ketidakmampuan publik dalam membentuk persepsinya sendiri secara independen, dikenal dalam konsepsi Marcuse tokoh pemikir kritis era Frankfurt School sebagai bentuk dari kategori one dimentional man -manusia satu dimensi. Terdapat ciri utama dari manusia berdimensi tunggal tersebut, satu yang mencolok adalah kehilangan kemampuan negosiasi atas fenomena, hal itu kemudian menyebabkan individu menerima begitu saja informasi yang tersaji tanpa proses koreksi dan evaluasi.

Apa artinya hal tersebut? Kita seagai sebuah kolektif berbangsa dan berwarganegara, kini telah sampai dititik nadir yang terpisah diantara pilihan-pilihan yang tersedia dalam mekanisme politik formal. Padahal, ada yang hilang dari gegap gempitanya keriuhan politik elektoral kali ini, yakni pembahasan isu-isu tentang publik. Konsepsi tentang kesejahteraan, kesehatan, pendidikan dan ekonomi misalnya, masih menjadi debat tematik secara opsional, dibandingkan mencari kesalahan dalam kekeliruan lidah -slip of the tounge, para orator dan juru kampanye atupun kandidat itu sendiri.

Kita menjadi mahluk mekanistik, yang tidak mampu menggunakan akal dan nalar kreatif, untuk membangun pemahaman kita sendiri pada persoalan keseharian, yang membelit kondisi kehidupan secara riil. Kondisi hegemoni terjadi dari orasi dan retorika pada elit politik, yang tengah bersaing memperebutkan legitimasi, kita terbelenggu dalam permainan logika kekuasaan yang diperagakan baik incumbent maupun penanding. Situasi ini jelas tidak menguntungkan bagi publik.

Kegagalan Negasi

Konsekuensi yang paling terlihat nyata dari silih bergantinya isu politik melalui ruang redaksi media massa saat ini, mencerminkan bagaimana ketatnya pertarungan terjadi tanpa makna. Karena parapihak berbicara tentang pihak lain secara berseberangan, situasi tersebut dikombinasikan dengan kepentingan media yang telah terindustrialisasi. Sensasi kemudian dikonstruksi menjadi publikasi, dalam upaya menjaring simpati, tanpa memberi ruang reflektif bagi publik.

Disisi lain secara bersamaan, publik sendiri tercerabut dari pemahaman dirinya tentang apa yang penting baginya. Publik mudah berayun dan kemudian terombang-ambing dalam jebak perangkap kepentingan kekuasaan, sekedar persoalan menjadi bagian dari petahana ataukah oposisi. Harus ada ruang jeda, dimana para elit memiliki kesadaran untuk melampaui nafsu syahwat kuasanya, dan publik mulai mengembangkan pembentukan narasi secara rasional dengan melihat potensi baik-buruk dari posisi yang berjarak.

Kita tentu berharap, ada lompatan dari partisipasi menuju emansipasi, perubahan kuantitas menuju kualitas. Bahwa bentuk keterlibatan publik, bukan sekedar menggugurkan hak politik untuk memilih para kandidat "penyambung lidah" bagi kepentingan publik, tetapi membawa legitimasi dalam bentuk amanat yang harus tertunaikan dalam program aktifitas jika terpilih nantinya. Tidak berhenti hanya sebatas membangun janji.

Realitas yang hadir dalam ranah publik hari ini menciptakan situasi hegemonik, membentuk suatu situasi dari kesadaran imajinatif alias palsu. Dan hakikat dari kepalsuan itu, terjadi ketika para elit dan aktor termasuk partai politik melihat publik hanya sebatas besaran nilai ambang suara keterpilihan. Individu terdegradasi menjadi angka-angka. Disini pentingnya publik membangun counter discource -wacana alternative, bahwa kita bisa bersikap secara berbeda.

Berbeda bukan berarti tidak ikut serta dalam proses politik, melainkan tidak menelan mentah-mentah semua ide yang dituangkan para elit, karena sesungguhnya mereka tengah berbicara tentang kepentingan kekuasaannya sendiri. Titik kritis kita terletak pada kemampuan menciptakan ruang negasi, sehingga terdapat penyehatan nalar untuk melihat apa yang benar dan salah secara substansi. Jadi, jangan membabibuta sebagai pembela kontestan tanpa kenal ampun, karena bukan tidak mungkin kita hanya menjadi anak tangga, bagi upaya mendapatkan kursi kekuasaan.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline