Suasana politik kembali menghangat. Hal ini terkait dengan proses Pemilu 2019 yang akan menjelang. Hampir sekitar 8 bulan kedepan kita akan melihat wajah terpilih hasil proses demokrasi ditanah air yang akan mendapat mandat politik dalam lima tahun mendatang.
Sesaat setelah nama pasangan capres-cawapres mendaftar, dan terdapat dua pasangan yang akan berkontestasi di Pilpres 2019, maka berbagai lembaga survei bergerak untuk melakukan riset terkait.
Maklum saja, pasangan nama yang terbentuk, diluar radar semua lembaga survei di Indonesia. Sehingga proses simulasi terhadap ukuran popularitas, akseptabilitas hingga elektabilitas terhadap kedua pasangan tersebut belum didapatkan. Meski untuk penilaian atas figur individual khususnya untuk nama-nama yang ditempatkan sebagai capres sudah pernah dilakukan studi, namun tentu hasilnya berbeda ketika diduetkan bersama dengan cawapres terpilih.
Harus dipahami, survei adalah metode statistik, sangat matematik. Pendekatan ilmu pasti, ditempatkan untuk melakukan pengukuran dalam bidang sosial.
Secara keilmuan, survei diberbagai belahan penjuru dunia, menjadi perangkat awal untuk melakukan pemetaan sekaligus melihat indikator kuantitatif dari sebuah subjek yang hendak diteliti. Pada bidang sosial, termasuk politik, survei bukan penentu kemenangan, namun dapat digunakan sebagai panduan ilmiah.
Sebuah survei, dilakukan dengan mengambil sampel yang dinyatakan representatif dalam mewakili perilaku populasi. Hal ini, tentu terkait dengan metode yang dipergunakan.
Disamping itu, survei juga membutuhkan sumberdaya yang cukup, diantaranya: jumlah peneliti lapangan, sampling responden, waktu wawancara, pengolahan data, hingga membangun kesimpulan akhir, tentu juga secara keseluruhan akan terkait dengan biaya penyelenggaraan survei itu sendiri.
Dengan demikian, survei yang metodologinya mampu dipertanggungjawabkan, akan membuka proses yang dipergunakan, termasuk transparan dalam persoalan biaya kegiatan. Lebih jauh lagi, sesuai dengan kerangka prosedur, maka pelaksanaan survei akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar, ketergesaan dalam survei akan berkonsekuensi pada peningkatan margin of error. Hal yang terakhir ini, akan membuat proses kesimpulan akhir justru akan bernilai salah.
Mungkinkah survei salah melakukan prediksi? Jelas sangat mungkin, jika salah dalam sampling, metodologi tidak sesuai, penarikan kesimpulan keliru, waktu yang terlalu singkat, hingga tenggat waktu survei hingga aktifitas riilnya terlalu jauh, bahkan akibat pembiayaan spesifik -baca: pesanan. Survei merupakan proses simulasi, akan berdampak jika diboboti dengan pembentukan opini publik yang menyertainya, sehingga kesimpulan bisa sangat mungkin diarahkan untuk tujuan tertentu.
Proses paparan survei dibarengi dengan ulasan pembahasan para pengamat, yang kemudian diamplifikasikan melalui ruang publik serta publikasi media massa akan memerikan pengaruh, mulai dari level kognitif --pengetahuan, afektif--emosi, hingga konatif -tindakan. Jangan heran kalau kemudian akan banyak lembaga survei yang bermunculan bak cendawan dimusim hujan.
Pastikan lembaga survei yang rilisnya sampai dihadapan Anda, memiliki track record dan kredibilitas yang baik. Lihat pula figure dan afiliasi tokoh dibelakangnya bila tidak terlalu transparan dalam mengemukakan metodologi dan pembiayaan surveinya. Jangan telan utuh tanpa skeptisisme, karena keraguan adalah cara dalam mengkonfirmasi kebenaran dan pengetahuan.