Pembacaan ini tidak hendak ditempatkan dalam persoalan dukung-mendukung politik bagi proses Pilpres 2019, melainkan berupa memberikan pemahaman akan perubahan-perubahan yang terjadi melalui teks pidato kemerdekaan RI, dalam periode kepemimpinan Jokowi.
Tentu situasi sosial politik yang melingkupi sebuah pidato kenegaraan, menjadi faktor yang tidak dapat dipisahkan, mengingat amanat dalam pesan yang hendak disampaikan melalui pidato tersebut merupakan upaya merespon perkembangan kondisi secara aktual. Meski pidato formal tersebut dibawakan Presiden Jokowi dalam forum dihadapan ruang sidang MPR/ DPR, namun paparan informasi akibat pemberitaan di media massa baik cetak, elektronik maupun online membuat publik terekspose.
Kita perlu melihat pada awal pidato pelantikan Jokowi-JK yang terpilih paska proses Pilpres 2014, dengan kehadiran dua poros koalisi yakni Koalisi Indonesia Hebat-pengusung Jokowi dan Koalisi Merah Putih-pendukung Prabowo, maka teks yang pelantikan memberi titik tekan pada upaya melanjutkan ujian sejarah dalam membangun persatuan mencapai kemerdekaan melalui kerja keras.
Frase yang banyak dipergunakan saat itu adalah tentang kerjasama, gotong royong serta bergerak bersama, dengan memperkenalkan slogan; kerja, kerja, kerja. Didalam pidato tersebut, Jokowi juga berbicara tentang kemaritiman yang selama ini selalu dipunggungi sebagai visi pemerintahan, bahkan bertamsil bila kehidupan kenegaraan ibarat kapal yang mengarungi lautan dengan hempasan gelombang dan ombak bergulung, dan sebagai nahkoda maka Presiden mengajak serta seluruh elemen bangsa untuk bersama menuju Indonesia Raya.
Rekonsiliasi Koalisi
Lantas, pada periode pemerintahan pertamanya, Jokowi terlepas dari kemelut KIH dan KMP setelah islah dengan melakukan negosiasi kedudukan pimpinan lembaga serta alat kelengkapan dewan. Situasinya, Jokowi dari pihak KIH terpilih sebagai Presiden tetapi kubu KMP menguasai parlemen, sehingga proses alot cenderung deadlock terjadi dan fase kompromi kekuasaan dalam komunikasi elit terjadi, hingga berujung damai antara parapihak.
Pada kesempatan pidato kenegaraan HUT ke-70 tersebut, Jokowi kembali mengulang tentang persatuan sebagai kalimat awal pembuka, dilanjutkan dengan uraia kekayaan atas keragaman bangsa sebagai modalitas untuk kemajuan. Termasuk perihal bonus demografi yang dimiliki, lebih jauh Jokowi menyoroti tentang lunturnya budaya luhur, soal saling menghargai hingga kesantunan politik.
Jokowi memulai menekankan soal pengelolaan desa dan pembangunan infrastruktur. Program elektrifikasi,bahkan isu tentang ketertinggalan Indonesia Timur khususnya Papua mendapat ruang khusus dalam pidato kali itu. Bersamaan dengan itu, tema korupsi dan penegakan hukum pun mendapatkan perhatian.
Dipenghujung pidatonya, disampaikan terima kasih atas optimisme publik dalam mendukung transformasi fundamental perekonomian nasional. Kutipan Bung Karno dipergunakan dalam menuntaskan pidato tentang gagasan "...bahwa tujuan bernegara untuk seribu windu lamanya, bernegara buat selama-lamanya".
Pertambahan Barisan Koalisi Pemerintah
Selanjutnya, pada pidato HUT ke-71, Jokowi masih menyambungkan ide tentang transformasi fundamental sebelumnya, dengan mulai menyebut tantangan global. Termasuk implikasi persoalan internasional akan terorisme. Jokowi juga berbicara tentang paradigma pembangunan yang diharapkan berubah, dari bersifat konsumtif menjadi produktif, serta berorientasi Jawa Sentris menjadi Indonesia Sentris.