Keriuhan pencapresan selalu membawa sisi menarik. Termasuk soal ulama dan santri yang akhirnya menjadi nominasi pendamping capres definitif sesuai pendaftaran ke KPU. Tentu kita akan membahas tentang arus yang menyebabkan Ulama masuk ke dalam pusaran politik, serta membaca posisi seorang santri di era modern abad digitalisasi saat ini.
Tidak ada yang salah dengan kehadiran Ulama dikancah politik, justru hal tersebut akan memberi warna berbeda dari wajah perpolitikan kita. Baik dalam posisi diminta ataupun mengajukan diri secara aktif untuk terjun adalah sebuah hal yang wajar. Apakah bukan berarti politisasi Agama? Maka tentu kita harus merunut sejarah bangsa ini, untuk menemukan relevansi Agama, Ulama, politik dan negara.
Kembali ke awal pergerakan embrio kemerdekaan, 1905 berdiri Sarekat Islam yang menjadi wadah organisasi keagamaan sekaligus pergerakan melawan kolonialisme.
Transformasi sesudahnya terjadi dalam bentuk Partai Sarekat Islam, meski kemudian berpecah karena terdapatnya beberapa faksi yang saling berfriksi didalam internal partai tersebut. Kita tentu mengenal HOS Tjokroaminoto, Agus Salim bahkan Semoen dan Tan Malaka di periode penuh pergolakan itu.
Bahkan lebih jauh lagi, perlawanan Kesultanan di nusantara adalah bentuk dari tidak terpisahnya bentuk kekuasaan politik dan Agama. Jadi, bagaimanapun basis keagamaan memiliki peran kesejarahan yang berkelanjutan, baik dimasa lalu maupun dimasa mendatang.
Siapa yang memanfaatkan siapa? Pernyataan yang berkembang, menyebut bila nantinya Ulama hanya dijadikan alat untuk vote getter suara semata, seolah menempatkan posisi Ulama sebagai objek yang pasif. Kita bisa salah sangka, karena para Ulama jelas memiliki bekal yang teramat cukup untuk dapat memahami kehidupan politik dan kepentingan umat.
Peran utama Ulama dalam keberadaan kesejarahan selalu memberi pencerahan, menjadi tokoh pembaharu dan penggerak perubahan. Kita tentu perlu menunggu, tidak terburu-buru menjatuhkan prasangka. Bahwa Ulama akan menggunakan jalur konvensional jejaring pesantren sebagai lokasi membentuk citra dan memberikan pengaruh, tentu hal itu tentu saja normal.
Hal ini mengingat persoalan aksesibilitas, maka pilihan saluran informasi terdekat tentu saja yang dapat dipergunakan, sepanjang sesuai kadiah dan dalam kurun waktu kampanye.
Tapi ini era digital, pertemuan keagamaan pun sudah mulai memasuki ruang virtual. Jadi menempatkan pesantren sebagai basis tradisional, tentu disertai dengan keharusan modernitas penggunaan teknologi.
Dulu kita mengenal "Dai Sejuta Umat", kini frasenya sudah berubah "Dai Sejuta Viewer" karena peran teknologi informasi dan internet termasuk sosial media. Majelis YouTube bisa menjadi sarana perluasan syiar efektif, mengatasi persoalan ruang dan waktu. Termasuk Jamaah Facebook yang berkontribusi pada penyebaran pesan melalui like and share.
Santri Post-Islamisme?