Ada yang hilang, keriuhan pencalonan kehilangan permainan simboliknya. Maklum saja, negosiasi dan kompromi baru berhasil dimenit akhir. Bahkan asumsi yang sempat menjadi perbincangan serta menguat terkait nama-nama yang disandingkan, menjadi berbalik arah. Sebelumnya nama Mahfud MD mengemuka, sempat memberikan sinyal yang kuat, lantas hilang dari peredaran. Tapi itulah drama politik. Jokowi khususnya, kerap tampil dengan makna simbolik, kali ini tidak kuat mengemasnya.
Meski resto Plataran bergaya kolonial, namun belum memberikan respresentasi yang cukup kental dalam aspek pencalonan. Setidaknya, para periode sebelumnya di 2014, Jokowi saat mengumumkan pasangan calon telah bersama JK di gedung Joang 45. Pun demikian saat statemen kemenangan Pilpres 2014 yang dinyatakan pada Pelabuhan Sunda Kelapa yang mengindikasikan visi maritim.
Beruntung bagi Jokowi, proses pendaftaran ke KPU masih akan dimulai dari titik awal gedung Joang 45 bersama Kiai Ma'ruf Amin, sehingga aksi simbolik masih bisa dilakukan. Pencalonan kali ini agaknya tidak mudah meski didukung koalisi 9 partai politik. Situasi yang sama juga dialami Prabowo dan koalisi Gerindra yang mengusung Prabowo-Sandi, bahkan penentuan nama pasangan diwarnai dengan drama tentang kardus.
Sejak 2014, Prabowo konsisten mempergunakan markas pemenangan sebagai lokasi deklarasi pencalonan, dulu rumah Polonia sekarang dikediaman Kertanegara. Pola pencalonan diantara keduanya tipikal baik pada kubu Jokowi maupun Prabowo, didampingi seluruh petinggi partai koalisi. Jokowi hadir tanpa menggandeng langsung pasangannya, dengan posisi duduk bersama. Sedangkan Prabowo dan Sandi seolah hendak menandakan kesiapan dalam posisi berdiri bersama para pengusungnya.
Tentu soal simbol tidak melulu soal tafsiran presisi, tetapi bisa jadi terdapat korelasi makna diantara pilihan bentuk tindakan yang diambil termasuk melalui interaksi subjek terhadap simbol-simbol yang dipergunakan. Proyeksi atas makna simbol, bisa menjadi daya dukung sebagai bingkai momentum.
Subjek dan Teks
Setelah nama pasangan yang akan hadir dalam kontestasi Pilpres terkuak, maka kita akan mencoba mengurai teks yang ditambilkan melalui figur tokoh yang dicalonkan, yakni pasangan Jokowi-Kiai Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandi. Bahwa sosok individu lekat dengan imaji akan keberadaanya melalui teks, dan kita bisa menelisik teks tersebut yang ditangkap oleh publik.
Jokowi dalam amatan media dekat dengan #kerja dan #sederhana, sementara Kiai Ma'ruf jelas menggambarkan #ulama dan #NU. Pada sisi lain, Prabowo dikenali dengan ciri #tegas dan #tentara, sedangkan Sandi mewakili #muda dan #pengusaha. Lalu bagaimana membawa teks tersebut kedalam arena kontestasi? Serta apa makna dalam teks sang subjek tersebut?.
Teks yang melekat pada subjek tersebut, akan menempatkan individu memiliki karakteristik yang akan dibawa pada periode kampanye yang tentu akan segera dimulai setelah pendaftaran calon, bahkan bisa jadisebelum penentuan nomor urut pasangan. Dalam kerangka kampanye, Jokowi tentu akan berbicara tentang program kerja yang sudah dan akan ditawarkan. Sementara itu, Kiai Ma'ruf akan memulai dengan aspek gagasan kebangsaan dan persatuan.
Gaya komunikasi Prabowo akan masuk diruang retorika, menggunakan semangat melalui tekanan intonasi dan ekspresi, untuk mendapatkan impresi. Sedangkan pendampingnya, Sandiaga akan lebih memfokuskan diri untuk persoalan ekonomi, dan akan hadir dengan gaya yang familiar terhadap pemilih muda yang sekitar 30-an presen jumlahnya dari total pemilih.
Lantas siapa yang memenangkan panggung tersebut? Tentu sulit untuk memprediksinya, meski berbagai lembaga survey masih menetapkan petahana memiliki tingkat elektabilitas yang tinggi dan jauh lebih baik, tetapi situasi bisa jadi terus mengalami dinamisasi seiring waktu. Juga akan bergantung tema dan isu yang dibawa, serta memainkan slogan dan jargon, termasuk tagline yang mampu diterima publik secara meluas.