Pikir panjang dan mengulur waktu! Mekanisme buying time dipergunakan secara maksimal oleh koalisi parpol dalam memajukan pasangan calon. Saling ukur dan saling tunggu, akan ditentukan di saat injury time. Kita terbiasa melihat suguhan drama di akhir babak.
Kompleksitas pengambilan keputusan dan penentuan pasangan calon tidak hanya persoalan membangun visi serta kesepahaman kerja, tapi juga soal elektabilitas dan aspek politik setelah pembentukannya.
Bahkan untuk petahana yang sudah pasti diusung kembali, toh menetapkan pasangan diawal waktu bukan perkara mudah. Skema multipartai dengan ketiadaan partai dominan mengharuskan terbentuknya koalisi, dititik ini negosiasi kuasa menjadi penentu.
Pilihan tidak berkoalisi tentu tidak mungkin, sebab ambang batas pencalonan telah ditetapkan, terkecuali Judicial Review di MK tentang penghapusan presidential treshold telah dinyatakan tuntas dan dimenangkan oleh parapihak pemohon. Jelas peta politiknya berubah.
Agaknya, putusan MK tidak akan terbangun dalam waktu yang singkat, terlebih persoalan sengketa Pilkada serentak 2018 menjadi krusial untuk diputuskan. Dengan demikian, diasumsikan tidak ada kemungkinan perubahan azas pencalonan, kecuali ada perubahan mendadak dalam waktu-waktu terakhir menjelang.
Koalisi telah terbentuk untuk kubu petahana, sementara itu prinsip berkoalisi bagi kelompok penantang sudah samar-samar terbuka. Sekali lagi, koalisi pragmatis dibentuk untuk tujuan jangka pendek pemenangan, sifatnya cair, karena pada realitas politiknya masing-masing parpol bersaing dalam kontestasi dan berusaha untuk saling mengalahkan.
Tongkat Pemimpin
Pembentukan pasangan calon bukan hanya soal pembagian tugas semata, tetapi juga tentang siapa yang akan berbagi panggung, sekaligus memastikan eksistensi parpol.
Terlebih bagi petahana, jika kembali mendapat mandat publik, maka periode ini adalah masa bakti terakhir, dengan demikian pasangan pendampingnya saat inilah yang akan mendapatkan hak waris kekuasaan. Popularitas yang dibangun saat menjadi wakil pemimpin, merupakan modalitas terbesar bagi pemilihan seterusnya.
Situasi ini tentu tidak menguntungkan bagi partai penyokong utama petahana saat ini, sementara itu disisi lain mengajukan pasangan internal tidaklah mungkin, sebagai akibat keharusan nilai ambang batas pencalonan.
Pilihan rasionalnya mengakseptasi calon dari wakil koalisi sebagai bentuk akomodasi, tetapi hal itu jelas memberikan ruang bermain bagi regenerasi politik selanjutnya yang belum tentu seiring sejalan dikemudian hari.