Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Dilema Estafet Kepemimpinan dan Pasangan Calon

Diperbarui: 5 Agustus 2018   21:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pikir  panjang dan mengulur waktu! Mekanisme buying time dipergunakan secara  maksimal oleh koalisi parpol dalam memajukan pasangan calon. Saling ukur  dan saling tunggu, akan ditentukan di saat injury time. Kita terbiasa  melihat suguhan drama di akhir babak.

Kompleksitas  pengambilan keputusan dan penentuan pasangan calon tidak hanya  persoalan membangun visi serta kesepahaman kerja, tapi juga soal elektabilitas dan aspek politik setelah pembentukannya.

Bahkan  untuk petahana yang sudah pasti diusung kembali, toh menetapkan  pasangan diawal waktu bukan perkara mudah. Skema multipartai dengan  ketiadaan partai dominan mengharuskan terbentuknya koalisi, dititik ini  negosiasi kuasa menjadi penentu.

Pilihan  tidak berkoalisi tentu tidak mungkin, sebab ambang batas pencalonan  telah ditetapkan, terkecuali Judicial Review di MK tentang penghapusan  presidential treshold telah dinyatakan tuntas dan dimenangkan oleh  parapihak pemohon. Jelas peta politiknya berubah.

Agaknya,  putusan MK tidak akan terbangun dalam waktu yang singkat, terlebih  persoalan sengketa Pilkada serentak 2018 menjadi krusial untuk diputuskan. Dengan demikian, diasumsikan tidak ada kemungkinan perubahan  azas pencalonan, kecuali ada perubahan mendadak dalam waktu-waktu  terakhir menjelang.

Koalisi  telah terbentuk untuk kubu petahana, sementara itu prinsip berkoalisi  bagi kelompok penantang sudah samar-samar terbuka. Sekali lagi, koalisi  pragmatis dibentuk untuk tujuan jangka pendek pemenangan, sifatnya cair,  karena pada realitas politiknya masing-masing parpol bersaing dalam  kontestasi dan berusaha untuk saling mengalahkan.

Tongkat Pemimpin

Pembentukan  pasangan calon bukan hanya soal pembagian tugas semata, tetapi juga  tentang siapa yang akan berbagi panggung, sekaligus memastikan  eksistensi parpol.

Terlebih  bagi petahana, jika kembali mendapat mandat publik, maka periode ini  adalah masa bakti terakhir, dengan demikian pasangan pendampingnya saat  inilah yang akan mendapatkan hak waris kekuasaan. Popularitas yang  dibangun saat menjadi wakil pemimpin, merupakan modalitas terbesar bagi  pemilihan seterusnya.

Situasi  ini tentu tidak menguntungkan bagi partai penyokong utama petahana saat  ini, sementara itu disisi lain mengajukan pasangan internal tidaklah  mungkin, sebagai akibat keharusan nilai ambang batas pencalonan.

Pilihan  rasionalnya mengakseptasi calon dari wakil koalisi sebagai bentuk  akomodasi, tetapi hal itu jelas memberikan ruang bermain bagi regenerasi politik selanjutnya yang belum tentu seiring sejalan dikemudian hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline