Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Komunikasi Politik sebuah Tinjauan Reflektif

Diperbarui: 29 Juli 2018   20:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jelang tahun politik, gegap gempita jagad perpolitikan tanah air semakin dinamis. Riuh rendah barisan pendukung, bahkan tidak jarang beradu urat suara antar pendukung kerap menghangatkan suasana. Situasi ini jelas tidak menguntungkan semua pihak. Demokrasi pasca reformasi, seolah tanpa batas, era baru perpolitikan tanah air menerjang bak air bah setelah tersumbat otoratianisme.

Mekanisme komunikasi politik yang harusnya dikembangkan dengan orientasi pencerdasan dan pencerahan publik, belum seutuhnya terjadi. Praktik politik dengan basis kepentingan individu dan kelompok secara sempit, justru lebih mengemuka dibandingkan pencapaian tujuan kehidupan bersama. Peran aktor politik dan partai politik menjadi signifikan dalam mengembangkan komunikasi politik secara positif.

Sesuai Eko (2013) dalam "Dinamika Komunikasi Politik dalam Pemilihan Umum", diketahui bila seorang komunikator politik harus membekali dirinya dengan kemampuan dalam melakukan perorganisiran pesan kepada khalayak, dengan berorintasi pada pengembangan arah demokratisasi bernegara, yang mendorong penciptaan kesejahteraan dan keadilan. Problemnya, tantangan komunikasi politik pun semakin berkembang seiring kemajuan teknologi.

Proses produksi dan konsumsi informasi, termasuk update issue politik terjadi secara langsung dan semakin cepat terdistribusi. Viralitas kerap membunuh rasionalitas. Kemampuan screening informasi dan rendahnya literasi, berbanding terbalik dengan kemudahan untuk like and share pada sosial media untuk berita yang bisa jadi ditujukan untuk menyebarkan fitnah dan kebohongan (baca: hoax).

Percakapan keseharian dalam sosial media, mengaburkan batas dan sekat yang menjadi pembeda ruang pada interaksi fisik. Komunikasi yang termediasi oleh perangkat elektronik dan komputer serta jejaring internet memberikan kesetaraan partisipasi. Sifatnya yang individual dan memberi hak untuk anonymus, menyembunyikan data privat meski terlibat berkomunikasi secara interaktif pada public space.

Lingkungan media digital sebagai ranah new media, menurut Gurevitch dalam Faridhian (2013) melalui "Komunikasi Politik di Era Media Sosial" audiens bertindak sebagai konsumen sekaligus produsen informasi. Integritas informasi bukan lagi hal yang menarik, jumlah like dan popularitas adalah target tersasar, dan dalam hal tersebut, modifikasi pesan kerapkali terjadi untuk tujuan yang berkebalikan, bahkan dapat dipergunakan untuk membangun upaya cyberbullying.

Lompatan Politik Komunikasi

Pendeknya proses adaptasi demokrasi era reformasi, membuat keterputusan sejarah dari pembelajaran demokrasi ditanah air, termasuk dalam pendewasaan aspek komunikasi politik. Berdasarkan Effendi (2004) "Interaksi Politik dan Media: Dari Komunikasi Politik ke Politik Komunikasi" diketahui bahwa pola komunikasi politik yang terbangun akan terkait dengan proses serta dinamika politik, termasuk keterlibatan media massa didalamnya.

Dengan demikian, setiap rezim pemerintahan akan menempatkan pola dan gaya politik yang berbeda bersamaan pula dengan perbedaan komunikasi yang menyertainya. Komunikasi politik yang berlangsung secara demokratis, akan mampu dirumuskan melalui politik komunikasi dengan memberikan ruang dan kesempatan secara aktif serta mandiri kepada publik untuk menentukan pilihan bentuk informasi yang bersesuaian. Dalam hal ini, masyarakat menjadi partisipan dalam produksi dan konsumsi informasi, serta dapat memberikan makna atas informasi tersebut.

Pada proses keseluruhan dari komunikasi politik, tentu berlangsung secara berkesinambungan. Peran partai termasuk elit politik, menjadi role model dalam pengembangan komunikasi politik yang bersifat mencerdaskan kehidupan demokrasi secara substansial, bukan sekedar demokrasi prosedural, karena sesungguhnya publik adalah pemilik kedaulatan sejati, bukan sekedar penyumbang suara bagi kepentingan untuk berkuasa.

Hal tersebut yang disebut Rosiana (2015) bahwa sesuai dengan kedudukan dan dalam tatanan komunikasi politik, maka letak kedudukan partai politik merupakan jembatan arus komunikasi dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, di antara mereka yang memerintah (the rulers) dan mereka yang diperintah (the ruled). Peran mediasi yang bersifat seimbang ini, menjadi dasar penting, untuk membedakan demokrasi dari otoritarianisme dimana komunikasi dominan (top down), atau menjadi terbuka dan liberal yang menyerahkan pola komunikasi sesuai dengan kebutuhan pasar (bottom up). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline