Terkepung! Kita dibatasi berbagai teks, yang tidak lepas dari kepentingan terkait tensi politik nasional. Kejadian atas perbuatan tidak menyenangkan sekelompok orang kepada pihak lain, disebabkan perbedaan pilihan nilai yang dipercayai, lalu muncul sebagai sebuah diskursus menarik.
Diluar persoalan, pada kasus diatas, bahwa terjadi intimidasi dan pelanggaran atas kebebasan berekspresi diruang publik, yang harus dimasukan keranah penegakan hukum, maka fenomena bullying politik bisa terjadi pada semua kelompok, tidak terkecuali.
Meski demikian, kita harus dapat melihat lebih jernih kejadian tersebut sebagai formulasi gagalnya pola komunikasi sekaligus pendidikan politik ditingkat grassroot --akar rumput. Maka kita urai perlahan parapihak yang terkait, pada analisis konteks kejadian tersebut;
Pertama: parapihak pada peristiwa itu, kelompok orang dan ibu yang terlibat dalam perdebatan tidaklah bebas nilai -kepentingan. Kedua pihak, secara bersama menggunakan kaos dengan narasi yang berbeda. Sebagian dalam kelompok menggunakan kaos bertulis #2019GantiPresiden sementara si Ibu memakai #DiaSibukKerja.
Apa maknanya? Hashtag-# adalah pengelompokan konten sejenis. Dengan demikian, masing-masing pihak telah membentuk identifikasi atas kesamaan pandang. Jika demikian, kejadian seperti ini dikemudian hari mungkin saja terjadi pada arah yang terbalik. Bisa jadi ada pihak yang tersesat dalam kelompok yang berseberangan. Ibarat memakai kaos Manchaster City ditengah fans Manchester United --salah kostum!.
Kedua: bagaimana Hastag -# dimaknai tidak hanya sekedar kesamaan kelompok? Sesungguhnya, apa yang tampak dipermukaan, adalah proyeksi dari pertarungan politik ditingkat atas. Siapa saja yang terlibat? Jelas para pemain dilapangan politik, yang memiliki kepentingan langsung, atas perebutan kekuasaan ditahun politik ini.
Melalui Hastag-# eskalasi politik dimulai, layaknya pertandingan bola, tahap pemanasan telah dimulai, hingga saatnya peluit pertanda dimulai pertandingan nanti ditiupkan. Risiko yang ditanggung dalam hal ini, bila tidak dikelola dengan baik, adalah friksi kepentingan secara terbuka.
Ketiga: peran media dalam mempublikasikan Hastag -# pun ternyata tidak bebas nilai -kepentingan, justru memiliki kepentingan. Atas nama rating, bahkan orientasi politik pemilik media menentukan arah framing yang dilakukan.Sehingga, sangat mungkin terjadi pengentalan dan akumulasi kemarahan kelompok, atas perbedaan pandangan secara mencolok.
Terlebih melalui perkembengan media yang multiplatform, maka reproduksi dalam perspektif kepentingan media tersebut, kemudian dapat dikembangbiakan melalui berbagai saluran yang mengepung kehidupan publik. Lantas, publik seolah tidak memiliki pilihan, selain,menyetujui premis yang dibangun oleh media massa tersebut, atau migrasi ke saluran lain yang juga punya kepentingan berbeda. Lari dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau!.
Kemana hendak Menuju?
Jika demikian, apa konklusi yang dapat diambil atas kejadian tersebut. Sudah saatnya publik tersadar, bahwa pemain kepentingan mempergunakan berbagai cara untuk mempengaruhi. Tersebab itulah, harus dibagun kecerdasan dan kesadaran publik untuk jeli melihat, apa yang tidak tampak dibalik sebuah peristiwa, termasuk bagaimana peran aktor-aktor yang terlibat.