Sesungguhnya alam memiliki cara, dalam berinteraksi dengan manusia. Banjir sebagai sebuah fenomena, adalah bentuk respon alam, atas apa yang dilakukan manusia terhadap alam lingkungannya.
Tetapi manusia memang hidup, dalam upayanya untuk mempertahankan diri, meski bukan berarti harus eksploitatif, yang tanpa perencanaan atas perlindungan resiko.
Pembangunan disatu sisi, bukan berarti penaklukan dan penghancuran alam, melainkan menjadikan lingkungan sebagai daya dukung bagi keberlanjutan hidup manusia.
Bersahabat dengan alam, bukan berarti harus menjadi naturalis, yang kemudian menihilkan kemajuan ilmu pengetahuan.
Mengelola pembangunan, dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem manusia dan lingkungan alam, adalah upaya bersanding dalam hidup berdampingan secara damai.
Dalam persoalan pengelolaan, maka fungsi dan tugas pemerintah daerah menjadi penting guna memastikan minimalisasi potensi bencana serta melakukan upaya penggulangannya.
Hal ini harus dipahami publik, dalam kerangka, bahwa musibah bencana adalah satu bentuk konsekuensi alamiah, dapat terjadi tanpa terduga, karena itu mengatasi pasca kejadian dalam tindakan yang komprehensif, perlu menjadi bagian dari perencanaan antisipatif.
Disisi lain, meski masuk dalam kategori bencana, tetapi musibah seperti banjir adalah sesuatu yang saat ini, dengan menggunakan bantuan teknologi dapat diproyeksikan dalam prediksi yang lebih presisi, sehingga tidak mentoleransi keterlambatan respon penanganan.
Komunikasi Pemimpin
Seperti biasa, banjir di Ibukota adalah magnet dari sorotan banyak kalangan. Selalu menjadi polemik, bersinggungan dengan aspek politik. Meski dalam realitanya, pada periode kepemimpinan yang berganti-ganti problematika banjir belum juga dapat diselesaikan.
Meski telah menggunakan berbagai pendekatan, yang diindikasi dapat mereduksi dampak banjir dan mencegah kehadiran banjir, toh pada kenyataannya banjir tetap datang. Catat sekali lagi, banjir terjadi tanpa pandang bulu, siapapun pemimpin yang terpilih dan berkuasa saat itu.