Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Seven Eleven dan Innovator's Dilemma

Diperbarui: 28 Juni 2017   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerai 7-Eleven di Jl Satrio Jakarta terlihat telah tutup pada Sabtu (24/6/2017), kendati manajemen PT Modern International Tbk mengumumkan gerai akan tutup pada 30 Juni 2017 | bisniskeuangan.kompas.com

Kebangkrutan Seven Eleven Indonesia menjadi sebuah tajuk yang menarik untuk dibahas secara mendalam dalam aspek strategi bisnis. Pengembangan konsep waralaba retail internasional itu di tanah air sempat digadang sebagai bentuk inovasi dengan terobosan paling atraktif.

Bagaimana tidak, di bawah Modern Group yang menjadi pemegang lisensi FujiFilm, maka upaya merangsek ke sektor retail modern dilakukan sebagai upaya konversi dalam kerangka utilisasi atas fix asset studio foto Fuji yang tersebar secara nasional saat tengah mengalami kelesuan bisnis fotografi.

Hal itu, berdampak secara langsung bagi Modern Group, yakni merubah arah haluan bisnis dari sebelumnya sebagai pemain raksasa di bidang kamera dan fotografi, yang kemudian goyah akibat dampak digitalisasi, kemudian beralih memasuki sektor modern ritel yang ditopang dengan pertumbuhan potensi konsumsi kelas menengah nasional secara aktual.

Alhasil, relasi yang telah tercipta sebelumnya akan pengelolaan brand FujiFilm menjadi sebuah modal sebagai referensi bagi Modern Group, untuk mempermudah langkahnya mendapatkan lisensi waralaba peritel Seven Eleven yang juga berasal dari negeri matahari terbit tersebut.

Bahkan, tidak ayal kemudian Sevel Eleven menjadi backbone dari nilai kontribusi yang dihasilkan melalui lini retail modern secara dominan atas pencapaian hasil bisnis konsolidasi. Perolehan nilai penjualan Seven Eleven kemudian bertengger di puncak, menggeser hasil lini bisnis fotografi.

Sekurangnya 70% pendapatan usaha keseluruhan, diperoleh melalui Seven Eleven. Hebatnya lagi, konsep Seven Eleven Indonesia menjadi pengusung awal model Convenience Store. Model bisnis ini mengedepankan ruang ritel, yang dikombinasikan dengan public space yang nyaman untuk berkumpul, dan hal tersebutlah yang menjadi kelebihan utama Seven Eleven. Bahkan menjadi pembeda dari segmen ritel lain yang telah lebih dulu eksis sebelumnya.

Tidak hanya itu, ibarat menjadi pemicu, Seven Eleven menciptakan budaya hangout yang kemudian ditiru pelaku sejenis dengan model yang tipikal. Tapi sulit mengejar Seven Eleven saat itu. Keterbatasan gerak pengembangan tidak menjadi halangan bagi Seven Eleven. Pengaturan perizinan atas jarak modern ritel dan zonasi wilayah pasar tradisional dimoderasi dengan dalih porsi retail yang tidak dominan hanya 30% atas total luas store, di mana proporsi terbesarnya dikontribusi dari hasil penjualan makanan dan minuman yang berkonsep fresh food.

Tidak tanggung lagi, bahkan dalam pengembangan jenis menu, varian terkait dan kepastian rantai pasokan pun dikembangkan kerja sama spesifik dengan penyedia jasa yang terpilih dari negara asalnya. Ketatnya kompetisi menghantam keras bisnis yang dikelola Seven Eleven. Aturan pelarangan penjualan minuman beralkohol disebut menjadi pembuka kegagalan bisnis lanjutan Seven Eleven Indonesia.

Meski tidak diketahui persis nilai total penjualan minuman beralkohol, tetapi tentu hal tersebut tampaknya bukanlah menjadi penyebab utama. Berdalih diseputar regulasi adalah alasan atas kegagalan yang dihadapi. Dalam sebuah siklus bisnis, regulasi kerap justru menimbulkan inovasi sebagai bentuk adaptasi parapihak yang bergelut di kalangan dunia bisnis. Jadi regulasi bukanlah sebuah tema utama.

Perang Bisnis Model pada Puncak Kompetisi
Pelajaran berharga atas studi kasus Seven Eleven tentu dapat dikorelasikan dengan konsistensi strategi bisnis yang dikembangkannya. Di samping itu, dapat pula dilihat pada perubahan bisnis dari pengembangan pusat perbelanjaan (mal), sebagai barometer dari industri yang tipikal. Serta tentu saja, patut pula dicatat strategi bertahan yang dipergunakan atas kompetitor bisnis ritel modern yang ternyata kemudian tetap mampu bertahan.

Seven Eleven yang sebelumnya bak Putri Cantik, kini telah kembali menjadi kisah Si Upik Abu. Sempat menjadi kajian strategi bisnis atas bisnis model yang dipilihnya, kini menjadi kajian pula atas kejatuhannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline