Lihat ke Halaman Asli

Yudhi Hertanto

TERVERIFIKASI

Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Berkerut Multidisiplin Pemikir Matematika

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mendadak matematika SD menjadi hal yang dicermati oleh para pihak, mulai dari orang awam sampai pada Doktor teoritik dan Professor dibidang Matematika itu sendiri. Terus terang dalam konsep yang sangat praktis, matematika memang soal konsensus mengenai suatu rumusan secara salah-benar.

Namun agaknya kita abaikan kebebasan ekspresi dan ruang dialog, masalahnya terbentang pada aspek tujuan pengajaran yang hendak dicapai. Bila kemudian kurikulum 2013 yang digadang memiliki kemampuan dalam eksperimentasi belajar, memberikan kebebasan eksplorasi, maka perbedaan sudut pandang bisa dipahami, karena konsepsinya adalah penghargaan atas keberagaman.

Kembali ke soal Matematika, ukuran dari tujuan pemahaman kalkulasi yang diharapkan ditingkat SD tentu berbeda dengan tingkat diatasnya, apalagi sekelas Doktor dan Profesor Matematik yang konsepsional mendasar & fundamental, sepanjang sejarahnya ahli kalkulus umumnya memang filusuf.

Pada pemahaman dasar, yang dijadikan acuan adalah sejauhmana anak bisa belajar dengan berbahagia, sehingga menerima informasi yang berguna bagi kebutuhan dirinya secara lebih banyak. Bahwa sang anak sudah belajar dengan baik dan mau mengerjakan pekerjaan rumah adalah sebuah nilai kedisiplinan yang perlu diakui dilain pihak.

Sedangkan pada aspek pencapaian materi belajar, maka kemampuan untuk menterjemahkan soal dipilah dari konsepsi teoritik matematis yang njelimet wabilkhusus ruwet. Bagaimana konsepsi 2013 dapat menjawab polemik dalam perdebatan ini? Proses atau hasil? Indikator pencapaian ada dikonsensus hasil akhir atau cara mencari informasi, mengurai dan menganalisa dan menjawab?.

Matematika anak SD kali ini menjadi bahasan yang bias, bila kita hanya berpaku berdasarkan pakem tematik yang matematis. Padahal ilmu adalah pendukung dari pembangunan Lifeskill, yang dijadikan sebagai alat bantu dalam menjalankan hidup keseharian.

Bayangkan saja, bila si anak itu besar dan menjadi pedangang, lalu dia mendapatkan pembayaran dari pelanggannya? Mau dibayar 400 x 6 koin atai 4 koin x 600? toh endingnya dia mengerti dan mengetahui bahwa harga jual yang pantas bagi penghargaan atas usahanya adalah 2.400 bukan?.

Banyak orang pintar, namunhanya memintarkan dirinya, ilustrasinya para koruptor banyak yang bergelar Profesor dan Doktor tapi tidak paham soal makna operator sandi matematik, seperti: bagi (: bersedekah), kali (x berbuat bagi bangsa), kurang (- efisiensi) dan hanya mengenal didalam otaknya secara individualistik operator tambah (+ memperkaya diri).

Kalau sudah begini, terima kasih buat anak SD yang telah berusaha keras untuk menyelesaikan tugas rumahnya, salut untuk pak guru yang penuh komitmen untuk taat azas atas ilmunya, dan kita semua yang mendadak menjadi pemerhati pendidikan yang semakin menyingkap celah kekurangan dari sendi pendidikan negeri yang ditujukan bagi upaya pencerdasan anak bangsa itu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline