[caption id="attachment_362034" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas Tekno)"][/caption]
Dunia maya menjadi ruang baru bagi semua pihak untuk bersuara, ekspresi mudah dicuitkan sesuka hati, tetapi statement yang bertanggungjawab tidak dapat dibantahkan.
Berkat dunia online pula, publik menjadi lebih sensitif dalam memberikan penilaian atas suatu kondisi kejadian yang berlangsung.
Berbagai konteks pemberitaan, muncul sebagai respons issue dari pembicaraan nan riuh di internet, dengan menempatkan media komunikasi sosial serupa facebook dan twitter menjadi senjata utama.
Sesuai hasil riset TNS Report 19 Juli-31 Agustus 2014, atas 1.002 responden dengan rentang usia 16-55 tahun keatas, diketahui bahwa sosial media bukanlah barang baru dan lekat dalam keseharian, dengan hasil survey 98% merupakan pengakses Facebook, diikuri G+54% dan Twitter 44%, maka perilaku bersosial media berlangsung dari bangun tidur hingga tertidur lagi.
Secara sosial-politik, pada kondisi ini, kelekatan publik secara nonstop pada sosial media menjadi bagian dalam upaya membangun aspek komunikasi sosial dan politik, baik dalam respon persetujuan atau memberi sangsi dalam bentuk cyberbullying.
Publik memiliki suatu tendensi tertentu atas satu kasus, contoh pada masalah #Flo-Jogja arah asosiasi publik berada pada posisi menjatuhkan vonis bersalah atas kicauan kemarahan pada Kota Jogja akibat antrian BBM.
Kali ini standing position netizen menggumpal dalam memberi komentar terkait sidang paripurna dalam pembahasan RUU Pilkada yang diputus voting dengan hasil Pilkada melalui DPRD.
Kisruh sorak-sorai netizen bersatu dalam #ShameOnYouSBY, sepanjang malam, mungkin sudah lebih dari 12 jam dan sudah setidaknya 184 ribu tweet berhastag tersebut menjadi perbincangan, sehingga menjadi trending topic nan populer ditingkat Internasional.
Melalui tanda pagar yang menandai bentuk kekecewaan publik, diatas pernyataan rasa kecewa SBY dari Washington DC akan proses dan hasil pembahasan RUU Pilkada.
Secara langsung, netizen memastikan bahwa ruang di dunia maya memberi penolakan secara lugas, meski terbatas lewat sosial media, namun impak politiknya adalah persepsi akan citra politik partai dan figur.