Sebulan yang lalu, Aysha, anak kedua kami, dirawat inap di rumah sakit. Berawal dari demam yang diderita pada hari Minggu, kemudian istri mencari obat penurun panas.
Ternyata panasnya tidak juga turun. Senin pagi Aysha dibawa ke dokter umum di dekat rumah. Diagnosanya terkena radang tenggorokan. Setelah minum obat sesuai resep dokter, panas badannya tetap nggak turun.
Sewaktu mengikuti rapat pada hari Selasa, siang hari istri SMS minta pendapat gimana kalau Aysha dibawa ke dokter spesialis anak. Saya jawab ok, nanti malam kita bawa berobat lagi ke spesialis. Istri kirim sms lagi bilang kalau mau daftar dulu siang ini.
Malamnya, kami bertiga ke tempat praktek dokter spesialis anak. Tak lama menunggu, setelah tiba dan lapor ke petugas jaga, kami dipersilahkan masuk.
Dokter merekomendasikan supaya malam itu juga cek darah di laboratorium. Nanti hasilnya diserahkan lagi ke dia.
Bergegas kami menuju laboratorium, lokasinya di jalan yang sama dengan tempat praktek dokter. Setelah membayar biaya cek darah 40 ribu, kami kembali lagi menemui dokter menyerahkan hasilnya.
Ternyata trombositnya sudah turun menjadi 76 ribu, standar rujukannya 125 – 400 ribu. Dokter menuliskan resep dan pesan supaya besok pagi cek darah lagi.
Malamnya tanpa diduga ada telepon bos ketika dalam perjalanan pulang. Karena lagi menyetir, hp saya serahkan ke istri.
Sampai di rumah, saya telpon balik bos. Minta maaf kalau tadi masih di jalan, baru saja antar anak ke dokter. Rupanya bos menelpon ingin tahu tanggapan saya waktu rapat tadi siang.
Kemudian dia tanya apakah anak saya sakit. Terus saya jelaskan panjang lebar kondisi anak saya mulai dari suhu badannya yg panas, sampai diminta dokter untuk cek darah karena kemungkinan besar terserang Demam Berdarah Dengue (DBD).