Lihat ke Halaman Asli

Yudha P Sunandar

TERVERIFIKASI

Peminat Jurnalisme dan Teknologi

Tukang Ronde dan Peran Penting untuk Sekelilingnya

Diperbarui: 23 September 2017   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang ayah yang hanya mencicipi kelas satu SD. Seorang ibu yang hanya lulusan SD. Dan seorang anak tunggal yang hendak melanjutkan studi magister di sebuah perguruan tinggi di luar negeri. Sepintas, tampak sebagai sebuah cerita fiksi. Namun, inilah keadaan sebenarnya dari seorang kawan diskusi saya sore itu.

Meskipun demikian, tidak ada rasa minder dari diri kawan saya ketika menceritakan tentang keluarganya. Sebaliknya, dia bersyukur memiliki orang tua seperti bapak-ibunya tersebut. Bahkan, hingga detik ini, dia merasa bahwa orang tuanya adalah guru terbaiknya, khususnya untuk urusan moral dan etika.

Dalam strata sosial, bapaknya merupakan penjual ronde di kaki lima di sebuah pasar di Semarang, Jawa Tengah. Menurut sang kawan, bapaknya sangat ketat dalam meramu ronde buatannya. Sang bapak selalu berusaha membeli bahan-bahan berkualitas nomor satu untuk ronde jualannya. Namun, masalah harga, dia hanya mematok harga 6 ribu untuk satu mangkok panganan penghangat badan tersebut. "Bahkan, bila ada yang menghela nafas ketika mendengar harga tersebut, mamah saya selalu menurunkan harganya," kisah sang kawan.

Urusan uang, bapak sang kawan tidak pernah hitung-hitungan. Malah, saking baiknya, sang kawan kerap greget dengan bapaknya yang kerap ditipu orang. Namun, sang bapak selalu mengikhlaskan uang yang pergi tersebut. "Rezeki sudah ada yang atur," ucap teman, menirukan ucapan bapaknya.

Bagi sang bapak, ajaran kasih sayang terhadap manusia merupakan prinsip paling utama. Dia berusaha untuk membantu sesama, sekuat tenaganya. Pernah, ketika sang kawan masih duduk di Sekolah Dasar, mereka mengontrak sebuah kamar di belakang sebuah pasar di Salatiga. Di kamar tersebut, sang bapak mengatur dapur, tempat tidur, dan ruang tamu hanya dalam sebuah kamar.

Salah satu keprihatinan orang tua sang kawan ketika itu adalah maraknya anak-anak di sekitar pasar yang miskin kasih sayang orang tua. Salah satu solusinya, orang tua sang kawan berusaha untuk memasak bagi anak-anak tersebut. Padahal, ketika itu, keadaan ekonomi mereka sangat pas-pasan. Namun, prinsip untuk membantu dan mengisihi sesama tetap menjadi hal yang utama. Melalui makanan tersebut, orang tua sang kawan berusaha untuk berbagi perhatian dan kasih sayang kepada anak-anak tersebut. Hasilnya, kondisi anak-anak tersebut semakin baik secara psikologis dan tingkah laku.

Gelar akademis memang jauh dari nama orang tua sang kawan. Perkara hanya sempat mencicipi bangku SD barangkali di luar kuasa bapak dan ibunya. Sang bapak sendiri kemungkinan besar hanya pernah mengenyam kelas satu Sekolah Dasar. Pasalnya, ketika berusia 8 tahun, sang bapak kabur dari rumah orang tuanya di Jawa Tengah. Seorang diri, anak kelas satu SD itu merantau ke Sumatera. Baru 8 tahun kemudian, sang bapak kembali lagi ke rumah.

Sedangkan sang ibu, berhasil lulus dari Sekolah Dasar. Menurut penelusuran sang kawan, ibunya merupakan siswa terpandai di sekolah ketika masih berseragam putih-merah. Sayangnya, orang tua sang ibu tidak mengizinkan untuk melanjutkan ke bangku SMP. Bahkan, kakek-nenek sang kawan memaksa ibunya untuk menikah. Tidak setuju dengan keputusan tersebut, sang ibu kabur di hari pernikahan.

Sang ibu sendiri memiliki tekad yang kuat dan cita-cita yang tinggi untuk membangun ekonominya. Intuisi dagangnya yang tajam berbalut kerja keras berhasil meningkatkan kondisi ekonomi dirinya sendiri. Bahkan, sampai memiliki rumah dan toko. Setelah itu, barulah sang ibu bertemu sang ayah dan menikah serta melahirkan kawan saya tersebut.

Menariknya, kedua orang tua sang kawan tipikal manusia cerdas Indonesia dan berprinsip untuk terus belajar sampai ajal. Sang ibu pandai berdagang dengan kemampuan matematis yang tinggi. Sedangkan sang bapak memiliki kecerdasan untuk memahami sistem, termasuk sistem mesin. Bahkan, sang bapak memiliki kecerdasan berbahasa. Hal yang kemudian diturunkan kepada sang kawan yang mampu berbicara dalam berbagai bahasa dan dialek. 

Meskipun jauh dari pendidikan formal, tetapi keduanya tetap memprioritaskan pendidikan dan karakter anak semata wayangnya. Sejak kecil, gizi sang kawan selalu mendapatkan prioritas. Setiap hari, sang kawan dicekoki ikan dan minyak ikan sebagai modal pembangunan otak. Hasilnya, pada usia 4 tahun, sang anak sudah fasih membaca. Ketika duduk di bangku kelas satu, ketika anak-anak lainnya baru belajar membaca "Ini Budi", sang kawan sudah rajin membaca majalah tempo dan buku-buku ideologi kiri di sebuah kios buku, tidak jauh dari tempat orang tuanya berjualan di pasar. "Bahkan, saya sudah baca tentang kasus Marsinah ketika kelas satu SD," tutur sang kawan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline