Centavos, mata uang Timor Leste. (Foto: Yudha PS)
Malam mulai menjelang, ketika saya, Gil, dan Cheche memilih makan di sebuah warung makan Indonesia di pesisir pantai Dili. Dari menunya, jelas sekali restoran ini menyuguhkan makanan khas Nusantara. Selain panganan berupa lalapan, ada juga Coto dan Konro dari Makassar, Sulawesi. Saya memilih menu lalapan. Barangkali, makanan ini sangat Jawa Barat sekali. Isinya adalah ikan laut bakar yang ditemani dengan rebusan daun singkong, irisan tempe, potongan mentimun, dan sambal tomat.
Momen makan malam bersama tersebut adalah makan bersama yang terakhir bagi kami saat itu. Setelah menghabiskan 2 hari di Timor Leste, keesokan siangnya saya harus kembali terbang ke Indonesia. Sembari menghabiskan makan malam, saya menceritakan mitos yang menyebutkan bahwa orang yang menyimpan pecahan koin terkecil sebuah negara, maka kelak akan kembali lagi ke negara tersebut.
Secara spontan, Gil dan Cheche mengumpulkan koin terkecil dari sakunya masing-masing. “Kembali lagi ke Timor Leste, yah,” pesan mereka, sambil menyerahkan masing-masing sekeping koin lima, dua lima, lima puluh, dan seratus Centavos. Centavos sendiri direncanakan menjadi mata uang resmi Timor Leste dalam waktu dekat. Mata uang ini akan menggantikan Dollar Amerika yang sekarang masih dipergunakan secara luas di Negeri Lorosae.
Ah, rasanya berat bagi saya untuk meninggalkan Timor Leste. Di dalam lubuk hati yang terdalam, saya masih ingin mengeksplorasi lebih jauh Dili dan 12 distrik lainnya di Negeri Lorasae tersebut. Jujur, negeri ini berhasil membuat saya terpukau. Salah satu yang paling membekas adalah kesederhanaan pemimpin di Timor Leste.
Ketika itu, saya hampir tidak percaya ketika Gil bilang ke saya bahwa Ibu Negara Timor Leste Isabel da Costa Ferreira tengah mengambil uang di ATM Mandiri depan hotel saya menginap. Pasalnya, hanya ada satu mobil di depan ATM tersebut, tanpa pengawalan satu pun jua. Di dalam mobil pun hanya ada seorang supir, seorang asisten, dan sang Ibu Negara Timor Leste.
Ketika saya turun dari mobil, Isabel tengah berbincang-bincang dengan salah satu rakyatnya. Orang yang diajak berbicara pun pakaiannya jauh dari baik. Seorang ibu dengan menggunakan kaos dan celana pendek serta sendal jepit. Entah apa yang diobrolkan oleh keduanya, tetapi perbincangan mereka cukup lama, sekitar 20-30 menit.
Ibu Negara Timor Leste Isabel da Costa Ferreira tengah berbincang-bincang dengan salah seorang warganya usai mengambil uang di ATM. (Foto: Yudha PS)
Menurut Gil, pemandangan ini sangat umum di Timor Leste. Tidak hanya ibu negara, presiden, perdana menteri, dan jajaran menterinya pun melakukan hal yang sama. Mereka tidak pernah menggunakan pengawalan berlapis, layaknya presiden dan menteri-menteri di Indonesia. Bahkan, di Indonesia kesederhanaan ini menjadi "komoditas" untuk meraih jabatan.