Merdeka belajar merupakan program yang dicetuskan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Konsep merdeka belajar tersebut adalah dikembalikanya Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) ke sekolah yang berarti pelaksanaan ujian tersebut menjadi kewenangan sekolah.
Selain itu, menghapus ujian nasional mulai tahun 2021 dan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survey Karakter. Kemudian penyederhanaan administrasi guru berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang tadinya berlembar lembar menjadi satu lembar. Yang terakhir, Sistem zonasi PPDB yang lebih fleksibel.
Penghapusan UN, USBN dan penyederhanaan RPP merupakan upaya pemerintah untuk memberikan keleluasaan kepada sekolah khususnya guru dalam memberikan pembelajaran. Dengan penyederhanaan RPP yang cuma satu lembar, guru mempunyai banyak waktu luang dalam berkreasi dan membuat bahan ajar atau media yang menarik sehingga siswa tidak bosan.
Selain itu, ke depan, pembelajaran lebih diarahkan ke luar kelas atau di lingkungan sekitar supaya suasana lebih segar. Siswa diarahkan untuk menjadi lebih aktif, sementara itu guru berperan sebagai fasilitator saja. Dengan suasana yang segar, fasilitator yang komunikatif, siswa akan menjadi bebas berekspresi, mengemukakan pendapat dan lainya.
Kemudian tidak ada sistem rangking karena hanya akan membelenggu pikiran siswa. Setiap siswa mempunyai bakat bakat positif tersendiri yang dapat digali baik oleh siswa sendiri maupun oleh gurunya. Guru juga akan bahagia karena lebih fokus dalam mengajar dan mendidik siswa. Begitu juga siswa, akan bahagia karena bebas berekspresi secara positif tanpa ada belenggu yang menghambat kreatifitas mereka. Tentu kebebasan ini masih dalam koridor peraturan sekolah yang harus ditaati.
Pandemi Covid 19 yang dasyat yang belum dapat dipastikan kapan berakhirnya membuat impian akan model pembelajaran yang mulia dan berkualitas tersebut menjadi terganggu. Ibarat impian peternak yang melihat sebentar lagi peliharaanya akan bisa dijual atau dipanen, tiba tiba terserang penyakit. Jika tidak segera diobati dan dikondisikan lingkunganya, akan lebih parah.
Perawatanya juga harus secara khusus supaya tidak terserang penyakit lagi. Begitu juga dengan pendidikan di masa pandemi ini, model pendidikan harus disesuaikan dengan menyebarnya wabah penyakit ini.
Keselamatan nyawa seseorang lebih penting, apalagi menyangkut peserta didik yang merupakan generasi muda penerus bangsa. Adanya pandemi ini membuat Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kebijakan untuk belajar di rumah dengan menerapkan pendidikan jarak jauh. Guru dan peserta didik belajar dengan memanfaatkan media media sosial dan aplikasi pembelajaran.
Kondisi pandemi tersebut membuat esensi atau inti dari merdeka belajar menjadi terganggu. Guru dan siswa tidak bisa berinteraksi secara tatap muka dan berdekatan. Situasi tersebut sangat terasa pengaruhnya. Guru tidak bisa menilai siswa secara maksimal dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Bagaimana siswa berpendapat, bersikap dan melakukan kinerja tidak bisa secara penuh teramati jika pembelajaran dilakuan dengan metode jarak jauh. Konsep merdeka belajar menjadi tidak merdeka baik dari guru maupun dari siswa sendiri. Siswa menjadi tidak merdeka karena keterbatasan kuota dan telepon genggam bagi yang tidak mampu,serta jaringan seluler yang tidak stabil sehingga membatasi komunikasi mereka dengan guru gurunya.
Lebih lanjut lagi, kesempatan untuk berdiskusi secara tatap muka baik dengan teman ataupun dengan gurunya menjadi hal yang langka.. Guru sendiri juga tidak merdeka dalam arti tidak bisa mengajar dan mendidik siswa secara maksimal. Tidak semua materi pelajaran dapat dengan mudah dijelaskan secara online. Apalagi materi pelajaran yang mengharuskan pegang alat seperti materi produktif di Sekolah Menengah Kejuruan. Pencapaian kompetensi siswa tidak bisa diukur hanya sekedar dengan melihat video saja.