Ekonomi Syariah merupakan salah satu jenis sistem ekonomi yang saat ini berkembang di dunia, terutama negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim. Penerapan ekonomi syariah sebagai sistem dilandaskan nilai-nilai Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist. Selama ini, ekonomi Islam juga kerap disebut dengan ekonomi syariah. Kedua istilah merujuk pada makna yang sama dan hanya berbeda pada pemakaian kata. pengertian ekonomi Islam menurut para ahli di bidang ini.
- Yusuf Qaradhawi Seperti dinukil dari buku Konsep Ilmu Ekonomi (2020), Yusuf Qaradhawi merumuskan pengertian ekonomi Islam (ekonomi syariah) adalah ekonomi yang berdasarkan pada ketuhanan.
- Veithzal Rivai dan Andi Buchari Kembali merujuk buku di atas, Veithzal Rivai dan Andi Buchari berpendapat bahwa pengertian ilmu ekonomi Islam (konomi syariah) ialah suatu ilmu multidimensi atau interdisiplin, komprehensif dan saling terintegrasi, yang bersumber dari Alquran dan Sunnah serta ilmu-ilmu rasional.
Tujuan utama dari sistem ekonomi syariah (ekonomi Islam) selaras dengan tujuan dari penerapan syariat (hukum) agama Islam, yaitu untuk mencapai tatanan yang baik serta terhormat sehingga menciptakan kebahagiaan dalam lingkup dunia dan akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ekonomi juga menjadi perhatian dalam agama Islam. (Putri, 2021)
Ekonomi konvensional adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas, dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang terbatas. Ekonomi konvensional bertujuan untuk mementingkan dan meraup keuntungan sebesar-besarnyang yang sifatnya keduniawian. Tujuan lainnya adalah mencapai kesejahteraan individu itu sendiri. Ilmu ekonomi konvensional memang memiliki peran dalam membangun kemajuan, terutama setelah Perang Dunia II.
Namun demikian ilmu ekonomi konvensional telah gagal dengan dua alasan. Pertama, ketidakmampuannya untuk mengajukan mekanisme yang tepat bagi filterisasi, motivasi, dan restrukturisasi. Kedua, ketidakmampuan masyarakat menerapkan mekanisme secara efektif. Pilar paradigma ilmu ekonomi konvensional tersusun dalam tiga konsep penting, yaitu manusia ekonomi rasional, positivisme dan hukum Say.
Di sisi yang lain ekonomi konvensional yang bersifat sekuler dan tidak memasukkan faktor Tuhan di dalamnya menjadikannya sebagai bidang ilmu yang bebas nilai (positivistik). Padahal dari diskursus intelektual mengenai motif perilaku ekonomi di kalangan pakar ekonomi konvensional, telah diakui bahwa moralitas dan nilai agama memiliki peran dalam perilaku ekonomi manusia. Adanya kelemahan-kelemahan teori ekonomi konvensional tersebut maka ilmu ekonomi konvensional telah berakhir dan sebagai solusinya adalah perlu dibangun teori ekonomi Islam. (Waluyo, 2018)
Konsepsi ekonomi Islam berbeda dengan konsepsi ekonomi Kapitalis atau yang biasa disebut dengan ekonomi konvensional. Perbedaan itu tidak hanya mengacu pada aspek akidah atau asas, tetapi juga meliputi standar nilai, dan metode untuk mengaplikasikannya. Konsepsi ekonomi Islam mengacu pada syariah yang menjadi aturan agama kita. Sebab setiap perbuatan manusia termasuk kebijakan ekonomi dan pembangunan, serta aktivitas ekonomi masyarakat harus terikat hukum syara’. Sistem ekonomi kapitalis menciptakan kegiatan ekonomi berbasis riba dan judi sehingga perbankan dan bursa saham menjadi poros ekonomi. Akibatnya ekonomi didominasi sektor keuangan yang mempercepat tingkat ketimpangan. (Cahyani & Sumadi, 2015)
Dalam Islam semua transaksi ekonomi dan pengembangan kekayaan harus terikat hukum syara’ dengan akad-akad yang syar’i dan adil. Wilayah transaksi pun hanya berada di sektor riil pada basis-basis kegiatan ekonomi yang dihalalkan syariah. Tidak ada dikotomi antara sektor riil dan sisi moneter. Sistem moneter hanya berkaitan dengan sistem mata uang emas dan perak, serta tidak ada kegiatan ekonomi yang terakit dengan riba, judi, dan spekulasi. Hal ini dinyatakan Allah dalam QS. Al-Baqarah Ayat 275
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”
Berdasarkan konsepsi ini maka peranan negara menjadi sangat penting dalam mengaplikasikan ekonomi Islam. Tanpa negara, ekonomi Islam tidak akan dapat berkontribusi untuk memecahkan masalah ekonomi dan pembentukan struktur ekonomi yang adil. Begitu pula tanpa meng-Islamkan negara tidak dapat juga Islam menjadi poros kebijakan ekonomi dan pembangunan. (Cahyani & Sumadi, 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H