Kala itu cuaca sedang terik dan panas, tepatnya tanggal 16 Desember 2024, pukul 12.05 WIB, saya sedang berjalan menuju kantin untuk istirahat makan siang. Saat saya sudah memesan menu makanan dan minuman untuk saya makan siang, saya langsung mencari tempat duduk. Saat sambil menunggu makanan dan minuman yang saya pesan datang, saat saya sedang men scroll hp saya, tidak sengaja saya membaca sebuah artikel berita dari Kantor Komunikasi Kepresidenan. Saya akan menceritakan tentang Program dari Presiden Prabowo Subianto yaitu Program Lumbung Pangan yang berada di daerah Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Di lereng-lereng indah kaki perbukitan Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, sebuah perubahan besar tengah terjadi, deretan ladang kentang, jagung, dan kubis terhampar sejauh mata memandang. Melalui Program Lumbung Pangan, yang difokuskan pada pengembangan hortikultura, sebuah harapan baru kini tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Program ini tidak hanya tentang pertanian, tetapi juga tentang kesejahteraan yang membaik bagi lebih dari 368 petani di tiga desa: Hutajulu, Ria-ria, dan Parsingguran 1.
Pembangunan lumbung pangan yang memanfaatkan lahan seluas 435,08 hektar ini bukanlah sekadar proyek pertanian. Di dalamnya terjalin upaya memberdayakan masyarakat setempat agar mereka dapat menciptakan ekosistem pertanian yang produktif dan berkelanjutan. Dengan berbagai skema pengerjaan mulai dari lahan riset, kerja sama dengan swasta, hingga lahan milik masyarakat program ini memungkinkan masyarakat untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik tanpa harus mencari pekerjaan di luar wilayah mereka.
Di antara lahan seluas 435 hektar tersebut, terselip salah satu kisah yang menggugah datang dari seorang petani John Les Lumbuun, seorang petani berusia 42 tahun dari Desa Ria-ria. Dengan senyum bangga, John Les Lumbuun menceritakan perjalanannya.
Sejak 2020, saat Program Lumbung Pangan mulai digulirkan, John mulai menggarap lahannya dengan serius. Fokus utama pertaniannya adalah budidaya kentang granola, sebuah komoditas yang memiliki harga jual lebih tinggi dibandingkan kentang industri, yakni mencapai Rp8.000 per kilogram. Dengan menerapkan teknik rotasi tanaman, John berhasil menjaga kualitas tanah sambil meningkatkan produktivitas lahan secara berkelanjutan. Kini, bukan hanya sekedar bertahan hidup, John dan petani lainnya mulai merasakan peningkatan kesejahteraan. Mereka tidak hanya mampu membiayai kegiatan pertanian mereka, tetapi juga dapat mencukupi kebutuhan keluarga.
Dalam wawancara dengan staf komunikasi kepresidenan, John, petani berusia 42 tahun yang telah menjadi bagian dari program Lumbung Pangan Humbang Hasundutan sejak 2020, menceritakan perubahan besar dalam kehidupannya. "Dulu saya hanya menanam untuk bertahan hidup. Sekarang, hasil panen ini tidak hanya cukup untuk keluarga, tapi juga untuk menabung dan memperbaiki rumah," ungkapnya dengan rasa syukur.
Lumbung pangan ini adalah inisiatif besar untuk mendorong ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Melalui skema kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan swasta, program ini membuka peluang bagi petani seperti John untuk mengelola lahan secara mandiri dengan dukungan riset dan teknologi pertanian modern.
Petani dan Masa Depan Baru
Bukan hanya John yang merasakan dampak positif program tersebut. Laos Marune Rumabutar, seorang petani perempuan yang bekerja di lahan kentang industri, turut merasakan perubahan signifikan. "Sekarang kami tidak perlu pergi jauh untuk mencari pekerjaan. Di sini, kami bisa hidup lebih baik dengan hasil kerja keras sendiri," katanya penuh keyakinan, seperti dikutip dari komunikasi kepresidenan.
Program ini juga mengajarkan praktik pertanian berkelanjutan. Rotasi tanaman, seperti yang dilakukan John, membantu menjaga kesuburan tanah sambil memastikan produktivitas tetap tinggi. Harga jual kentang granola yang mencapai Rp8.000 per kilogram, lebih tinggi dari harga pasar industri, memberikan tambahan pendapatan yang signifikan bagi petani lokal.