Lihat ke Halaman Asli

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (''Bukan'') Budaya Indonesia

Diperbarui: 20 April 2019   18:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

          Hari sabtu, 30 Maret 2019 yang lalu seluruh masyarakat Indonesia disuguhkan Debat ke-4 Calon Presiden Republik Indonesia antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto yang berlangsung di Hotel Shangri-La, Jakarta. Dalam bidang pemerintahan, Calon Presiden nomor urut 2 berpendapat bahwa tingkat korupsi di Indonesia sudah dalam taraf yang sangat parah dan ibarat penyakit telah mencapai stadium empat. Sebenarnya pendapat serupa juga pernah diakui oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bahkan saking parahnya semua penyelenggara negara bisa saja ditangkap oleh lembaga antirasuah melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT). Namun sebelum berbicara lebih jauh mengenai korupsi, sebenarnya apa sih definisi korupsi itu sendiri ?

          Korupsi dapat didefinisikan 'dengan berbagai cara'. Namun bila dikaji secara mendalam, hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan (Braz, Lubis dan Scott, 1985). Selain itu, menurut Brooks (Klitgaard 2001) pengertian korupsi yaitu: "Dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi."

          Di Indonesia sendiri kasus korupsi bukanlah hal yang tabu untuk diperbincangkan sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan 79 kepala daerah di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2004-2018. Angka tersebut diprediksi akan bertambah mengingat masih ada penangkapan yang belum masuk data. 79 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi tersebut meliputi bupati 45 orang, walikota 21 orang, dan gubernur 13 orang. Adapun potensi korupsi yang terjadi di Indonesia disebabkan karena pembangunan ekonomi kian tinggi hingga mencapai angka Rp 2.000 triliun dan persoalan berikutnya ialah mengenai integritas seseorang yang acap kali tidak sejalan dengan banyaknya uang yang dimiliki. Menurut Saut Situmorang (Wakil Ketua KPK) yang dikutip melalui Kompas.com, berdasarkan fakta kasus korupsi yang terjadi sejak tahun 2009-2013 rata-rata para pelaku masih berusia muda dan berpendidikan tinggi. Mirisnya lagi kasus yang melibatkan mereka tergolong besar.

          Selain itu, berdasarkan rilis Transparency International tentang tingkat Corruption Perception Index (Indeks Persepsi Korupsi atau yang disingkat dengan IPK) menempatkan Indonesia di peringkat 96 dari 180 negara yang diteliti. Walaupun peringkat tersebut menurun dari IPK tahun lalu yaitu peringkat 90, sejatinya Indonesia memperoleh skor IPK yang sama dari tahun lalu yaitu 37. Stagnansi persepsi pemberantasan korupsi di Indonesia tersebut juga dapat dilihat dari kurang signifikannya kenaikan skor IPK dalam lima tahun terakhir. Rilis IPK tahun 2013, Indonesia mendapatkan skor 32 dan secara perlahan naik di angka 37 pada tahun 2018. Skor tersebut masih terbilang sangat jauh jika dibandingkan dengan peringkat pertama IPK yaitu selandia baru yang selalu mendapatkan angka diatas 88 dalam lima tahun terakhir.

          Kurang progresifnya kenaikan skor IPK di Indonesia sejatinya merupakan cerminan kondisi Indonesia secara umum. Yang terbaru misalnya, disebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam satu negara dengan ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin tertinggi di dunia (Gibson, 2017). Salah satu penyebab tingginya gap tersebut adalah political capture, dimana disinyalir ada oknum pemangku kebijakan yang menggunakan kewenangannya hanya untuk kepentingan pribadi atau golongan saja. Bisa dibayangkan besarnya kebermanfaatan uang kerugian negara dari skandal E-KTP sekitar Rp 2,3 triliun jika digunakan untuk mempersempit gap tersebut diatas daripada sekedar kepentingan-kepentingan dan intrik politik. Hal tersebut itulah yang menjadi salah satu alasan lesunya persepsi korupsi di Indonesia.

          Berbicara korupsi disadari atau tidak negara dengan tingkat persepsi korupsi yang tinggi justru didominasi oleh negara yang 'beragama'. Padahal seharusnya, ajaran suci yang terkandung dalam agama menjadi sebuah peluang untuk menekan 'agresivitas' munculnya para koruptor. Akan tetapi, Heater Marequette (2012) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa sebenarnya agama mempunyai dampak yang minim dalam menekan perilaku koruptif. Hal ini disebabkan oleh pendapat bahwa korupsi merupakan problem collective action daripada persoalan nilai. Dalam hal ini, memang collective action rentan terhadap infiltrasi penumpang gelap (free riders). Apalagi jika wadah collective action itu adalah lembaga politik yang rentan dengan free riders dan self interests misalnya DPR. Oleh sebab itu, maka korupsi tidak beririsan dengan agama apapun, melainkan memang ada perilaku-perilaku individu yang menyimpang dari norma.

          Dari pembahasan paragraph diatas dapat kita simpulkan bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat parah dan dapat dikatakan juga sudah menjadi seperti budaya baru di negara ini. Tapi, menarik untuk dicari tahu darimanakah 'budaya' korupsi tersebut pertama kali muncul ? serta faktor apa sajakah penyebabnya ?

          Setelah melakukan riset selama 15 tahun, Daron Acemoglu memberikan satu kesimpulan bahwa penyebab kemajuan ekonomi suatu negara tidak ditentukan oleh faktor geografis dan faktor iklim. Kemajuan ekonomi suatu negara juga tidak ditentukan oleh nilai dan etika yang diadopsi oleh suatu negara. Akan tetapi kemajuan tersebut ditentukan oleh desain institusi politik dan ekonominya. Kesimpulan Prosfessor dari MIT ini membantah hipotesis sejumlah pemikir klasik seperti James Diamond dan Sach, yang menyatakan faktor geografis menjadi penyebab ketimpangan ekonomi suatu negara dengan negara lain. Ketimpangan ekonomi antara Meksiko dan AS, Jerman Timur dan Jerman Barat sebelum akhirnya bersatu serta Korea Selatan dan Korea Utara merupakan bukti bahwa keberhasilan ekonomi suatu negara tidak ditentukan oleh faktor geografis, namun karena faktor institusi politik.

          Daron Acemoglu juga membantah teori yang diwacanakan oleh sosiolog Jerman Max Weber (2002) yang menyatakan bahwa kebangkitan industri modern di Eropa Barat merupakan buah dari etika Protestan pasca reformasi atau pandangan Landes (1999) yang berpendapat bahwa negara-negara Eropa Barat maju berkat kultur yang unik yang mendorong mereka untuk bekerja keras dan inovatif. Amerika Serikat dan Kanada merupakan dua bekas negara jajahan inggris sama seperti Sierra Leone dan Nigeria. Namun kedua negara pertama mampu menjadi negara besar sementara dua negara berikutnya masih berkutat sebagai negara berkembang. Bahkan menurut berbagai etika yang muncul seperti semangat gotong royong merupakan hasil dari penerapan dari sebuah institusi dan tidak berdiri sendiri. Dengan demikian, menurutnya, keyakinan dan nilai-nilai serta etika tidak dapat menentukan kemajuan suatu negara.

          Dari pendapat Daron Acemoglu diatas dapat disimpulkan bahwa desain institusi politik dan ekonomi adalah faktor yang menentukan keberhasilan suatu negara. Lantas kaitannya dengan Indonesia ialah, sebagaimana diketahui bersama bahwa Indonesia ialah negara  yang mempunyai perjalanan panjang sampai dengan negara ini dapat dikatakan merdeka. Sejarah mencatat, dua negara terakhir yang menjajah Indonesia ialah Belanda dan Jepang. Jika kita coba kaitkan pendapat Daron Acemoglu tentang desain institusi politik dan ekonomi yang menentukan keberhasilan suatu negara dengan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, bahwa dapat disimpulkan berarti ada yang salah dengan desain institusi politik dan ekonomi sehingga muncul banyak kasus korupsi sampai saat ini.

          Sebagaimana dikemukakan oleh Smith (Lubis dan Scott, 1990), yang menyatakan bahwa Indonesia di masa kolonial sama sekali bebas dari korupsi. Jika kemudian korupsi cenderung berkembang menjadi penyakit endemik dalam struktur ekonomi dan politik Indonesia, setidaknya menurut sejumlah kalangan, maka kesalahan terutama harus ditimpakan terhadap pemerintahan penduduk Jepang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline