Dalam tatanan negara demokrasi, keberadaan institusi partai politik menjadi suatu hal yang sangat esensial. Mereka merupakan suatu entitas yang tidak dapat terpisahkan. Secara konsepsional, keduanya menjadi pelengkap antara satu dengan yang lain. Partai membutuhkan ruang demokrasi untuk tumbuh, sedangkan demokrasi membutuhkan partai untuk dapat mencapai inti maknanya.
Keberadaan partai tersebut tidak hanya dipandang dari aspek kuantitas saja, namun juga harus dilihat mengenai derajat efektvitas dan kualitas terhadap kinerja mereka. Secara prinsipil, partai adalah sarana bagi masyarakat untuk mengakomodasi, mengagregasi, mengartikulasi, dan merepresentasikan kepentingan serta mencari jawaban atas tantangan masyarakat lewat lapangan politik. Partai merupakan salah satu sarana bagi masyarakat untuk mencapai kedaulatannya.
Maka dari itu, ditinjau dari sifat-sifat prinsipil kepartaian di atas, mereka sesungguhnya adalah suatu instrumen yang dibutuhkan untuk dapat mencapai suatu kehidupan demokrasi yang sifatnya substansial, bukan hanya prosedural. Yang dimaksud disini, yaitu pelaksanaan demokrasi yang murni sesuai dengan tujuan-tujuan normatifnya, bukan praktik demokrasi yang sifatnya hanya seremonial semata dan mengabaikan prinsip utama demokrasi.
Tetapi secara riil, praktik kepartaian masih membutuhkan banyak koreksi. Relasi lembaga kepartaian dengan konstituennya masih sangat harus dioptimalisasikan. Apabila diperhatikan, kebijakan dan arus gerak kepartaian saat ini masih jauh dari upaya representatif partai terhadap konstituennya pada tingkat akar rumput, hal ini secara mudah dapat kita lihat dari beragam respon masyarakat terhadap kinerja mereka. Maka muncul pertanyaan: kemana kinerja dan arus gerak kepartaian mereka arahkan apabila bukan kepada konstituennya?
The Iron Law of Oligarchy
Robert Michels, seorang politisi dan sosiolog asal Jerman dalam bukunya yang berjudul Political Parties menciptakan suatu teoritisasi terkait ketimpangan relasi kuasa. Teori tersebut ia kembangkan dengan merujuk kepada suatu bentuk "hukum besi" yang mengikat dari kelompok oligarki.
Menurut Michels, dalam suatu negara maupun lembaga---Michels merujuk kepada partai politik---yang dibentuk se-demokratis apapun, pada ujungnya akan bersifat oligarkis. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya hanya akan ada sekelompok kecil saja yang benar-benar berkuasa, berdaulat, dan memiliki kewenangan riil atas tiap agenda pada partai tersebut. Michels menyebut kelompok tersebut sebagai "leadership class".
Kelompok kecil tersebut, walau sifatnya minoritas, namun memiliki kuasa untuk dapat mengorganisir, mengatur, bahkan hingga menciptakan suatu tatanan terhadap kelompok yang lebih besar jumlahnya. Struktur ini dapat diibaratkan sebagai sebuah piramida. Dalam bentuk piramida, digambarkan bahwa pada tingkatan paling bawah, merupakan area di mana lay people's berada. Sedangkan para elit duduk pada sisi piramida paling atas dan pada bentuk yang paling mengerucut kecil. Walaupun secara visual keberadaan mereka terlihat paling kecil ditambah dengan ruang gerak yang cenderung lebih sempit, tetapi pada kenyataannya mereka berdiri dengan "menginjak" struktur paling bawah pada piramida tersebut, yang digambarkan sebagai lay people's, atau, masyarakat dan kader biasa. Mereka bahkan memiliki ruang gerak yang jauh lebih leluasa dalam sistem kelembagaan partai tersebut.
Visualisasi pada piramida tersebutlah yang sesungguhnya terjadi pada realitas politik kini. Perbedaan kuasa pada kelompok kecil dan besar tersebut akhirnya menciptakan suatu kesenjangan. Yang dimaksud dengan perbedaan kuasa ini adalah disebabkan oleh adanya suatu permasalahan struktural, yaitu kesenjangan terhadap kepemilikan basis sumberdaya materiil diantara keduanya yang kemudian berpengaruh terhadap aksesibilitas mereka terhadap kelompok yang secara riil dan normatif menjadi penguasa di partai tersebut.
Kelompok kecil tersebut, walaupun sifatnya minoritas tetapi mereka memiliki resources yang lebih besar sehingga dapat ikut menentukan agenda kepartaian. Dalam hal ini, mereka berupaya untuk mencipatakan suatu simbiosis mutualisme. Di satu sisi, untuk menjalankan roda kepartaian dengan maksimal, partai membutuhkan suatu suntikan sumberdaya. Tetapi pada sisi yang lain, sumberdaya yang dibutuhkan tersebut tidak selamanya dimiliki secara personal oleh para pengurus di internal partai tersebut. Sehingga, untuk memenuhi hasrat materiil kelembagaannya, mereka harus bersedia membuka diri terhadap kelompok eksternal yang bersedia mengulurkan bantuan. Sebagai timbal balik, partai bersedia mengikuti agenda kelompok eksternal tersebut yang diharuskan tercapai lewat agenda-agenda politik-pemerintahan. Hal ini akan membuat partai tidak benar-benar memperhitungkan suara konstituennya pada tingkat akar rumput. Pada titik ini pula, partai akan menjadi tawanan kelompok elite.
Michels melihat dalam konstelasi politik riil---setidaknya pada Partai Sosialis Jerman, partai tempat ia bernaung---bahwa hampir tidak ada satu partai pun di dunia yang tidak terhinggapi oleh penyakit elitisme ini. Hal ini sangat berkebalikan dengan konsepsi partai yang terdapat pada alam pikir Michels. Menurutnya, partai seharusnya dikembangkan dengan berlandaskan pada aspirasi dan kepentingan kader serta konstituennya. Konsepsi partai menurut Michels ini sejatinya juga merupakan esensi dari keberadaan partai politik pada alam demokrasi. Lewat konsepsi ini, Michels berupaya untuk mendorong terciptanya demokrasi yang substansial.