Lihat ke Halaman Asli

Yuda Y. Putra

Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Putri Menara; Para Babar, Naga dan Puisi

Diperbarui: 3 Desember 2016   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Konyol! Konyol sekali hari ini, inilah mengapa aku benar-benar tak ingin ikut gerombolan para  babar, lihatlah ia pangeran, diatas kuda putih yang berjingkrak mengacungkan pedang kelangit, membikin semua formasi, bertempur, lihatlah mereka kesatria yang gagah berani, terbakar sana-sini disekujur tubuhnya, uh! semua ini memuakkan, obsesi pangeran keempat benar-benar menggerakan hati para ksatria bagai puisi.

Debu bertebaran, api meriam memuntahkan hawa panas yang seakan menyayat kulitku, teriak dan teriak, komando dan komandan semua serasa terjalin pada satu tujuan, membunuh monster tak terkalahkan, penyembur api yang melegenda, dan ini semua untuk obsesi puitis sang pangeran? Konyol bukan main, keluarga kerajaan benar-benar hidup selayak dewa.

Sebagai seorang petualang yang terjebak dimedan tempur karena kehabisan biaya perjalanan, menghabiskan sebulan dan menjalin kontrak yang serasa abadi sebagai penjaga kuda di medan tempur, benar-benar menyiksa batin dan prinsip kebebasanku. Penyesalan mendera dadaku, hujatan –hujatan memenuhi hatiku, setan menari dalam jiwaku, membakar dendam dan amarah pada diri sendiri, perlahan dan pasti memulai pertentangan dalam pikir, hingga akhirnya menyerah dan menyalahkan takdir untuk segala kondisi, hakim telah mengetok palu, ini Tuhan yang salah!!

“hoi penjaga kuda, ambil pedang dan perisai, ambillah nyawamu untuk kejayaan pangeran ke-empat, jiwamu akan abadi dalam sejarah kerajaan!” teriak seorang di gemuruh medan tempur.

Sial! Titah pangeran bagai “firman” di setiap jengkal tanah di wilayah kekuasaannya, mau tak mau aku harus bergerak, konyol! Bertempur bukan hobiku, dan puisi pangeran adalah puisi terburuk bagiku, ini gila, aku akan mati sia-sia.

“aa.. a-nu, maaf aku tak tau caranya berpedang”  belaku untuk jiwa yang kuhargai dalam diriku.

“Bodoh! Kau adalah manusia yang diberi kehormatan pangeran untuk melayaninya, ambil pedang itu dan majulah di medan tempur” di tunjuknya mayat seorang kesatria yang terbakar beberapa meter dari tempat kami berdiri.

“tapi, aku tak memakai baju zirah, dan lihatlah perisainya, hancur, prajurit itu terlempar sampai kesini, bukankah jarak garda depan sangat jauh, uh! Maaf aku sungguh tidak akan berguna melawan naga berkepala dua itu” jawabku gelisah.

“Bodoh!, ambil pedang itu, angkat pedangmu, jiwamu akan terbebas untuk persembahan titisan dewa, ambil atau kupotong lehermu.....” sambil dihunuskan pedang keleherku.

Ocehannya mulai beranjak dari banyak menjadi sangat banyak, dari tidak masuk akal menjadi semakin tidak masuk akal. bergetar kakiku, namun aku tetap berdiri, bagaimanampun aku belum puas melihat dunia, aku belum ingin mati. Perlahan berjalan, kuambil pedang dari mayat yang terbakar, kumantapkan langkahku, maju dengan gagah berani, tak ada alagi alasan, tak ada celah untuk lari, titah penguasa sudah diberikan, jika aku mati, setidaknya aku menikmati pertempuran ini.

Sampai di garda depan semua mata tertuju padaku, aku hanya seorang penjaga kuda, pegawai tetap saja bukan, seorang yang membawa sebilah pedang, memakai pakaian yang terbuat dari kain goni, zirahpun tak ada yang menempel, tak ada zirah, tak ada perisai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline