Lihat ke Halaman Asli

Yuda Y. Putra

Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Lampu Jalan

Diperbarui: 13 Oktober 2016   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang pria berjalan dijalan desa ber-aspal yang sepi, ini sudah tengah malam, dan tak ada lagi orang-orang yang berlalu-lalang, lampu jalan memberikan petunjuk bagi setiap orang, begitupun bagi si pejalan. Pria tua, memakai tas ransel tua, jaket tua, celana jins tua, rambutnya panjang keriting berkuncit, merah keputih-putihan, janggutnya panjang terawat, juga jamban dan kumisnya, seperti sudah dibuat sedemikian rupa sehingga indah baginya, perawakan tubuhnya kurus dan tinggi, jika dilihat dari jauh, seperti sapu lidi yang dibalik.

Pejalan kaki tua melirik kesana kemari, langkahnya terhenti,  pandangannya ditujukkan kepada lampu jalanan yang menyala kekuningan, kemudian berkata “oh, betapa ciptaan manusia, memberi petunjuk saat malam, jika saja Edison tak memiliki ibu yang hebat, mungkin ia tak akan menemukan bolam, dan seluruh dunia hingga saat ini masih saja mengandalkan lampu minyak,” kemudian melanjutkan perjalanan.

Pria tua itu berhenti, karena rasa takut telah menjalar keseluruh tubuh, ia sampai pada tepian jalan yang diterangi lampu jalan, pada lampu terakhir ia memandang dengan penuh kegelisahan, jalan didepannya sudah tak lagi memiliki cahaya, hanya pepohonan dan sawah di kanan kirinya, ah, betapa ia takut pada malam gelap.

Kakinya tak lagi kungjung mau beranjak dari ketakutan, masih saja ia berdiri diambang akhir cahaya lampu jalan terakhir. Dalam hati berkata “apakah aku yang sudah berumur hampir enam puluh ini, sanggup untuk tak malu pada rembulan karena ketakutan kepada kegelapan?”

Suara daun bergesek karena angin menyiratkan suara gaib, suara yang langsung masuk kedalam pikiran tanpa melewati telinga, “hey tua, sudahlah, kembali saja, pulanglah, anak-anakmu menunggumu.” Keningnya berkerut-kerut mendengar suara gaib, namun ia tak lagi bergeming, malah melanjutkan langkahnya.

Dua tiga langkah ia tempuh sambil menutup mata, namun, hatinya masih saja bergetar, membuat semua tubuhnya bergetar pula. Sejauh tiga langka hia sudah tempuh dari batas cahaya yang diberikan lampu jalan terakhir, dalam hati ia berkata, “oh, beginikah aku setelah menjadi tua, takut akan kegelapan,” kemudian penuh ragu ia membuka kelopak matanya.

Raut wajahnya yang keriput tampak menjadi cerah, matanya malah enggan tertutup bahkan untuk berkedip, jalanan ternyata tak begitu gelap seperti yang dilihatnya ketika dalam naungan cahaya lampu, ia pun menengok keatas langit, ia melihat bulan, melihat bulan sedang penuh dan berseri, bercahaya kekuningan dan cerah, kemudia si tua berkata; “oh, rembulan, oh Tuhan beginikah cahayamu, beginikah cahaya lampu jalanan, inikah petunjukmu, betapa lampu memberikan cahaya, namun secara bersamaan ia juga menyembunyikan cahaya yang lain.”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline