Lihat ke Halaman Asli

Yuda Y. Putra

Kita semua punya kengan yang indah di masa lalu, buktinya masih bisa kangen pada itu.

Hujan Kosmis

Diperbarui: 6 Oktober 2016   14:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apakah angin pagi selalu begitu membingungkan, kadang aku merasa ada suara didalamnya, mengadung pesan akan masa depan. Ah! Andai saja aku benar bisa mengartikan maksudnya mungkin aku bakal menjadi penjudi paling mujur.

langkahku kian terhenti detengah anak tangga yang kuturuni, begitu lambat, seperti sesuatu membelenggu kakiku, entah apa itu, mungkin tangan-tangan setan, atau rantai gaib, atau dedemit yang merangkul betisku, entahlah rasanya berat.

Anak tangga terakhir berhasil kulewati, anak tangga yang berjumlah empat saja, menyambungkan halaman dan teras, ah! Mengapa perjalanan sinngkat menjadi sangat panjang.

Angin menghembus kembali, membelai wajahku seperti seorang kekasih. Oh! Beginikah kau angin, begitu inginnya dirimu bermesraan denganku.

Kakiku kembali terasa berat, begitu juga hatiku yang kian meggelembung menambah sesak didada, angin kembali merangsang pipiku. Dalam hati aku berkata; “Oh! Beginikah, beginikah hidup.”

Dedauanan menari bersama angin melambai padaku seakan berkata; “kembalilah, kembalilah, orang-orang berlalu lalang di jalan, sibuk dengan rusanya, yang mungkin bukan untuk dirinya.”

Kumantapkan hatiku, kulawan segala pertanda, kumantapkan kakiku, ah! Dedaunan bukan menari barsamaku, namun untuk mengejek. Roboh, duduk dianak tangga, melamun di pagi hari semacam kemewahan yang dunia tak akan mengijinkannya.

Kupandangi tali sepatu, kupandangi jemari yang kian tebal beradaptasi dengan mesin-mesin pembuat sepatu-sepatu, dan segala macam hawa panas dari berbagai benda, “bukankah indah jika hidup dapat terus merasakan kemewahan ini, kemalas-malasan adalah kemewahan, hanya mereka yang tak khawatir akan hari esok yang dapat merasakan kemewahan seperti ini,” kataku kepada dedauanan yang menari mengejek.

Awan semakin menjadi kelabu, seperti enggan kembali menjadi putih, awan kelabu menatapku menantang, seakan mengancam akan menurunkan kenangan, kenangan pahit, kenagangan patah hati, kenangan atas sesal-sesal. “betapa menyedihkan diriku, begitu banyak kenangan, begitu banyak ingatan yang membelenggu, walau begitu kenanganlah yang menyatukan jiwa antar manusia.” Kataku lagi pada dedaunan, yang begitu angkuh diam tak menjawab, hanya menari dan mengejek.

Beginilah, begitulah, diperintah dan memerintah, semua telah tertulis pada telapak tangan, menjadi yang memerintah, maupun menjadi yang diperintah, selamanya yang diperintah, tak pernah mendapat kesempatan untuk berdebat, karena bagi semua yang memerintah, kami adalah budak yang dapat diganti dengan mudah, kami yang murah dan banyak, mudah didapat dari peternakan manusia-yang-diperintah yaitu; sekolah.

“hay daun, mengapa kau diam, mengapa kau mengejekku yang sedang diancam awan kelabu,” dedauanan masih saja menjadi angkuh, tak sudi menjawabku, awan-awan masih kelabu dan tetap enggan memutih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline