Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya, dan si anak selalu meniginkan yang terbaik untuk hidupnya. Nah! Sekarang, bagaimana yang terbaik ini menjadi mungkin untuk menjadi yang terbaik?
Alkisah tentang seorang professional dibidangnya katakanlah semisal; seorang kontraktor, pengusaha, guru, dosen, pengacara, tentara, polisi, dokter, presiden, dan lain sebagainya. Ketika professi itu dikaitkan dengan penghasilan yang didapatkan, maka lain sebutanya; yaitu pekerjaan.
Setiap yang terbaik yang diketahui orang tua adalah kebenaran untuknya, setiap kebenaran orang tua adalah kebenaran yang akan diajarkan kepada anaknya, setiap warisan yang berharga, adalah warisan yang berharga bagi orang tua.
Mungkin tidak semua, tapi usaha untuk mengembangkan pekerjaan agar tak habis dimakan anak-cucu, semangat semacam itulah yang mendasari ketakutan seorang orang tua pada masa depan bagi anak dan cucunya.
Warisan demi warisan telah dikumpulkan, menjadi pembenaran dari penimbunan harta sekaligus juga penimbunan status dan prestasi, karena bagaimanapun, anak seorang yang bersatatus tertentu akan menaikkan kemungkinan keberhasilan seorang anak dikemudian hari.
Semangat penimbunan harta untuk menghidupi anak-cucu inilah yang melahirkan Mylin entah sebutan lain mungkin penguasaan atas bidang usaha yang beragam; dalam kata lain, ekspansi bukan hanya pada pasar atau wilayah jual, juga dalam variasi dagangan jualnya, disingkat monopoli atau Get Rich. Adam smith bapak dari ‘kekayaan negara’ yang diganyang oleh aktivis yang mengaku dan atau memang Marxis inipun pernah bersabda; dosa dari pengusaha adalah monopoli. Dengan melihat kreatifitasan beberapa orang pengusaha masa sekarang, kata monopoli yang kini berganti pada keluasan dan adaptasi dari suatu perusahaan beredar, menjadi tren cara usaha yang efektif dan membangun, entah membangun gudang harta karun, atau gudang timbunan cadangan makanan untuk anak-cucu, nah! Bukankah pengusaha (maksudnya ekonom) sudah murtad dari bapaknya?
Lain pengusaha lain lagi ceritanya, kumpulkan saja professi dibidang yang katanya pelayanan publik ini dalam bidang jasa, dibidang jasa swasta atau negeri (PNS). Nah sekarang, berapa banyak manusia yang bekerja dibidang tertentu semacam ini seperti polisi, dosen atau tentara yang menginginkan anaknya juga berprofesi demikian? Jawabnya tidak tahu, karena berapa kalipun browsing tidak ditemukan data yang meyakinkan, dan berapa banyak anak yang dididik seperti polisi atau dosen atau pengacara mengikuti tradisi pekerjaan orang tuanya, mungkin juga tidak ada survey yang menyakinkan, namun itu ada, dan mungkin banyak, jika tidak, yang disebut ‘Nepotisme’ (semacam; tarik-menarik seorang pada instasi karena kekerabatan atau kenalan) itu dari mana asalnya?
Pekerjaan-pekerjaan yang telah mencapai status tinggi, menghasilkan, bukankah seorang dengan pengalaman kerja semacam ini, cenderung berpikir, bahwa, cara hidup atau kasarnya bertahan hidup didunia yang semakin sempit peluang kerjanya adalah yang terbaik jika seperti yang pernah dialami.
Seorang orang tua akan mengajari anaknya seperti yang ia tahu bukan? Artinya ketika seoang nyaman dengan satu ekerjaan, merasa mapan dengan pekerjaan, merasa cukup dan menjadi mewah untuk pekerjaan, mewariskan yang terbaik unutk anak yaitu pekerjaan tersebut adalah yang paling masuk akal.
Namun, dengan demikian, secara tidak langsung, ppikiran semacam itu mengarah pada, pemikiran, bahwa sang anak suatau saat nanti tidak mampu mencari jenis pekerjaan lain.
Pikiran ini dikarenakan, kurang percaya kepada anak, dan bukan sama sekali karena kekurangan pengetahuan kepada professi. Kepercayaanlah yang utama. Karena menuntut seseorang yang faktanya hidup manusia rata-rata enampuluh tahun mengetahui banyak profesi dalam dunia manusia, jelas tidak mungkin.