Karena seringnya melihat karya fotografi laku kehidupan kebudayaan Bali Ida Bagus Putra Adnyana saya jadi berpikir, apakah kebudayaan Bali mengalami perubahan yang begitu cepat.
Sementara ritual upacara dan tradisi yang masih berjalan hingga kini saya lihat sebagai kepastian untuk menjawab, bahwa kebudayaan Bali patut dipuji.
Ida Bagus Putra Adnyana atau sering dipanggil Gustra memotret masyarakat Bali dalam bingkai upacara dengan segala pernak-perniknya, dari manusia lahir sampai meninggal menjadikan subyek yang ditampilkan terungkap sangat akrab sampai pada tingkah pergaulan, penghormatan maupun kehidupan alami.
Gustra berkisah tentang kehidupan yang sejatinya, latar alam mapun suasana tempat serta karakter subyeknya begitu ia tunjukkan sangat dalam, sehingga berapa kali memancing mata saya untuk masuk lebih dalam lagi untuk mengetahui kehidupan kebudayaan Bali sebagai dunia penuh warna yang utuh.
Saya teringat ulasan Wayan Westa atas tulisannya tentang penjelasan Tuhan Asli Bali Purba. Dia merunutkan tentang pemujaan terhadap dewa-dewa sebelum kedatangan Dewa-dewa India.
Maksud Westa dalam tulisannya mungkin ingin menyampaikan ulang kontruksi kebudayaan Bali dari yang paling arkais sampai yang tertata. Dari ulasan Westa kemudian saya hubungkan dengan karya-karya fotografi Gustra, hasilnya seperti menjawab pemikiran Westa atas perjuangan masyarakat Bali menuju titik kebahagiaan ketika kehidupan itu selaras dan harmonis.
Saya pernah terkejut, melihat pernak-pernik upacara yang ditangkap Gustra sebagai presentasi moderenitas Bali, bahkan ada kegelian untuk ditertawakan. Tapi, bukanlah begitu karya fotografi harus jujur untuk dirasakan penikmatnya.
Waktu saya menghadiri sebuah upacara Bali melalui karya-karya fotografi Gustra khususnya yang diterbitkan dalam buku Bali Ancient Rites in Digital Era saya jadi paham jalannya upacara bukan hanya terlihat namun juga dirasakan.
Ketika mengamati areal upacara dalam setiap pemotretannya antara ruang kosong dan terisi dalam visualisai empat penjuru mata anginpun sangat terasa masing-masing terwakili. Sehingga saya mulai merasakan dalam mengamati karya-karya fotografi kebudayaan Gustra seperti sedang melihat ruang arsitektur lengkap dengan komposisinya.
Melalui karya fotografi Gustra Masyarakat Bali dan ritual upacaranya dalam sintesis kebudayaan bagi saya ternyata melahirkan cara pandang yang bermacam-macam.
Alhasil setiap saya mengamati karya fotografinya semisal yang sering dibaginya dalam media sosial melalui facebook dan instagram adalah sebuah praktik antara estetika dan kritik terhadap realita. Sejatinya ruang kesadaran sangat jelas Gustra hadirkan.
Hematnya, menghadirkan kekuatan-kekuatan psikis melalui visual yang dapat menjelaskan ritus dan perayaan di Bali memang tidak gampang.
Foto-foto Gustra yang berhasil ia bagikan seperti kelengkapan ritual dan upacara yang berbicara tentang alam, kesuburan, kegembiraan dan sukses dalam ukuran mula kehidupan maupun layu sedih dalam kematian menjadi terjelaskan.