Di kelebatan hutan Dandaka, angin semilir menggerakkan dahan-dahan pohon yang rindang. Burung-burung berkicau nyaring memecah kesunyian. Suaranya bersahut-sahutan tidak seperti biasanya. Sekawanan binatang berlarian, mereka bersuka ria membuat isi hutan riuh. Dari atas pohon kera-kera cekikikan bahagia melompat dari satu dahan ke dahan lainnya.
Angin memang sedang meniupkan senandung lagu merdu tentang cinta. Gerakan ranting dan daun-daun seolah mengikuti alunan musik orchestra. Sebuah gambaran panggung alam yang benar-benar mempesona.
Dari kejauhan terlihat Rama dan Sinta sedang duduk memadu kasih. Rama tersenyum bahagia memandangi Sinta yang terlihat manja, karena manjanya Sinta semakin terlihat jelita. Anggrek hutan dengan sulur bunga beraneka warna tiba-tiba rebah di atas dada pohon yang ditempatinya. Sepasang tupai yang mulanya berlarian tiba-tiba berhenti mendekati pasangannya dan saling mengenduskan hidungnya. Meraka tahu hanya karena cintanya Rama dan Sinta hutan tempat tinggalnya berubah menjadi tentram.
Saat Rama membelai rambut Sinta, terperanjatlah pandangan Sinta, ia merubah posisi duduknya dan seketika matanya menatap pada binatang yang berada dihadapannya. Kijang kencana telah datang menggoda hati Sinta. Bulunya tipis, halus dan bercahaya keemasan. Matanya berpendaran bagai air laut yang terkena sinar matahari pagi. Cantik dan elok rupanya.
Kijang kencana menari-nari di hadapan Sinta, matanya berkedip seolah mengatakan tangkaplah aku. "Rama aku ingin membelainya, tangkaplah kijang kencana itu", ujar Sinta. Rama segera bergegas, karena demi cintanya apapun dilakukan untuk menangkap kijang kencana itu.
Kijang kencana yang cantik rupawan tidaklah sejinak seperti yang dikira Rama. Ia berlari liar bagai halilintar, melesat di atas awan. Rama tidak mau membidikkan anak panahnya karena ia paham harus menangkap kijang kencana itu hidup-hidup. Maka, makin jauhlah pengejaran kijang kencana yang memang sangat susah ditangkap. Berlari membelah dari satu rimba ke rimba lainnya.
Sinta semakin resah menunggu kedatangan Rama, ia sangat berharap segera kembali dengan kijang kencana tangkapannya. Matahari telah bergeser cepat dari tempatnya membuat perasaannya semakin risau. Penantian tinggalah penantian karena Rama tak jua kunjung tiba. Kisah ini akhirnya membawa Sinta pada jebakan maut Rahwana. Awal sebuah duka kehidupan sepasang anak manusia yang dipenuhi api cinta.
****
Manis Kuningan Tahun 2014, satu hari setelah hari raya Kuningan. Hari raya umat Hindu Bali yang merayakan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan), saya berkunjung ke studio Ida Bagus Oka (68) di Griya Carik Sidemen, Karangasem. Ida Bagus Oka adalah seniman otodidak. Ayahnya, Ida Peranda Gede Pinatih, juga seorang seniman lukis daun lontar (prasi). Namun Ida Bagus Oka tidak sempat mendapat didikan dari ayahnya, karena sang ayah meninggal ketika ia masih berumur enam tahun.
Di usia anak-anak, layaknya anak-anak Bali ia belum mengenal tentang seni lukis. Baru ketika berumur Sembilan belas tahun ia harus menentukan sikapnya untuk bekerja. Hidup susah pasca meletusnya Gunung Agung 1963 membuat dirinya dan keluarga menjalani kehidupan yang serba susah.
Ketika pariwisata Bali mulai ramai tahun 70 an, Sidemen sebagai tanah kelahirannya sekaligus tempat ia tumbuh telah mulai ramai dan menjelma menjadi salah satu tempat kunjungan wisatawan. Ida Bagus Oka mulai mencoba melihat kembali karya-karya ayahnya, mulanya dari mencontoh dan akhirnya piawai melukis dengan gayanya sendiri.