Cakupan tangan adalah simbol damai, popular di masyarakat Asia. Banyak makna sebetulnya dari cakupan tangan itu sendiri, harmonisasi sisi positif dan negatif, salam atau sapaan pembuka, bahkan pada sikap yoga yang dikenal dengan Anjali Mudra.
Namun, ada hal yang menarik ketika bahasa cakupan tangan itu menjadi persoalan penting bagi Fotografer pinhole Jepang Yasu Suzuka. Banyak kisah yang telah ia gali dari orang-orang penting, terutama tokoh agama atau spiritual di berbagai tempat belahan dunia.
Tanpa harus dijelaskan, sebenarnya foto-foto pinhole karya Yasu Suzuka dapat bercerita. Dari tangan pendeta budha, Pendeta Kristen, tokoh muslim, Pastur Katolik, sampai Pendeta Hindu Bali, amat mudah diterka apa yang ingin diutarakan Yasu lewat karya fotonya. Sekilas orang akan melihat ada banyak kemiripan, namun juga banyak perbedaan.
Tangan Pastur Katolik dari Amerika dengan cakupan tangan yang jemarinya ditekuk, Pendeta Budha dari Kyoto Jepang dengan cakupan tangan lurus, Pendeta Shinto Kyoto Jepang yang cakupan tangan mengarah ke depan, ulama Mesir dengan telapak tangan bertumpuk menghadap perut, sampai Pemangku Hindu dari Pura Taman Pule Ubud.
Dari bahasa cakupan telapak tangan, memperlihatkan betapa masing-masing subyek yang diangkat kesemuanya sedang membahasakan kata damai. Melalui cakupan telapak tangan tokoh-tokoh agama itu, Yasu menemukan keajaiban bahasa ungkap yang kuat.
Dari karya cakupan telapak tangan, Yasu tampak sedang bergulat dengan sebuah kosep fotografi, bahwa pemaknaan sebagian anggota tubuh akan lebih berarti daripada secera keseluruhan. Yasu ingin menajamkan maksud yang ingin dibicarakan, tanpa perlu mengikatnya dengan figur utuh beserta atributnya.
Inspirasi bentuk-bentuk cakupan telapak tangan, menurutnya sangat sederhana kisahnya. Ia sering melihat banyak tokoh agama dan orang-orang berdoa. Ketika mereka berdoa harapannya kebaikan dan kedamaian, baik untuk dirinya, keluarga maupun alam semesta.
Ia terkesan dengan rata-rata mereka menggunakan bahasa tangan, lalu membawanya pada riset yang melibatkan pendeta budha dan Shinto di Jepang. Selanjutnya, ia kembangkan di setiap tempat yang dikunjunginya. Termasuk di Bali.
Yasu adalah fotografer yang resah dengan kehadirannya di tempat-tempat yang dianggapnya memiliki keindahan dan energi. Ia selalu ingin membawa pulang pengalamannya untuk diterjemahkan dalam bahasa visual. Bagi Yasu setiap eksplorasi selalu mendorongnya untuk terus mengadakan pencarian, terutama dalam hal menemukan kedamaian.
Mungkin tidak berlebihan apabila karya Yasu sebagai seni selaras dengan realita kehidupan, menyentuh wilayah moral dan spiritual. Yasu Suzuka seniman kelahiran Kanagawa tahun 1947, ia pernah belajar oil painting di Tama Art University, kemudian menjadi instruktur kursus printmaking di Kyoto City University. Tahun 1975 ia menempuh studi di Departemen of Photography di San Francisco Art Institute (USA).
Selama tujuh tahun sejak 1984, Yasu menjadi Associate Professor di Kyoto College of Art. Selanjutnya Tahun 1991 sampai 2012 menjadi Professor di Kyoto University dalam bidang seni dan desain.