Ibu itu sedang berjalan, mengendong belasan anak-anaknya. Tangan kanannya memegangi jarik lurik yang mengikat gendongan rinjing, di tangan kirinya membawa tongkat bambu berbendera merah putih. Ribuan kilo meter jalan yang telah ia tempuh, membentangkan beban tiada terkira.
Sang ibu, berpakaian kebaya dan jarik tambalan dengan gelungan rambut yang awut-awutan. Ibu itu terlihat ringkih dan lelah dibebani oleh beragam karakter dan ulah anak-anaknya. Kendati demikian, ia masih terlihat kuat dan semua anaknya bergembira, mewakili perannya.
Satu karya rupa kedamaian Indonesia yang disimbolkan oleh hadirnya tokoh wayang kulit Nyai Brayut itu masih ada di hati perupanya, Grace Tjondronimpuno, perupa wanita yang karya-karyanya selalu menghadirkan perenungan terhadap realita kekinian. Lukisan Grace memang terlihat lucu dan menggelitik. Barangkali ini cara Grace mengajak pembaca dan penikmat karyanya untuk tidak tegang lebih awal melihat sebuah persoalan. Namun sebetulnya, ini adalah cara halus Grace menyeret rasa kepedulian elemen anak bangsa, melihat dirinya kembali untuk mencintai tanah airnya.
Baru dalam seminggu ini, Grace meluncurkan karya “Save NKRI #1” yang ia unggah di Facebook dan telah menyebar ke beberapa media sosial lainnya. Kini, ia kembali menghadirkan kejutan yang sangat berbobot dan tetap kritis. Grace memang memiliki banyak cara mengespresikan perasaanya terhadap fenomena empirik yang terjadi di sekeliling kita. Karya Save NKRI #1 yang bernarasi karikatural itu tidak lain merupakan cara gemesnya menyampaikan “kritik” terhadap sepak terjang FPI.
Bila karya yang kedua “Save NKRI #2” bermedia campuran di atas kertas terinspirasi tokoh wayang kulit Jawa Nyai Brayut, hal ini sebenarnya merupakan caranya membuat wadah untuk berbicara tentang negara dan seluruh elemen anak bangsa. Maka, secara spontan pembaca karyanya akan cepat mengingat, “betapa berat beban penderitaan tanah air saat ini” dalam perjalanannya menjaga keutuhan yang tetap satu yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memang apa jadinya ibu pertiwi ini, bila rakyat yang hidup mendiaminya selalu ribut tiada kedamaian ?. Tentu akan terus dirundung kesedihan, bahkan bisa-bisa tercerai berai, dan yang terburuk kemungkinan perang sesama saudara.
Meski dalam beban pikiran yang sangat gusar, Grace sepertinya masih menaruh harapan besar terhadap kesadaran setiap elemen anak bangsa. Sosok Nyai Brayut sangatlah tepat ia gunakan sebagai idiom ibu yang selalu melindungi dan menuntun prilaku anaknya. Di dalam lakon pagelaran wayang kulit yang menyertakan Nyai Brayut, di kultur Jawa memang kehadirannya sangat special. Kehadiran sosok ini memang biasanya dikhususkan bagi upacara ritual mitoni, tingkeban, atau pitung ulanan, yaitu peringatan tujuh bulan usia bayi dalam kandungan ibunya.
Di samping tokoh Nyai Brayut, terdapat pula tokoh laki-laki yang disebut Kyai Brayat. Bedanya sosok ini memikul anak-anaknya di dalam keranjang. Melalui upacara ini harapannya dapat mempunyai keturunan, dan bayi yang dikandung dapat lahir dengan selamat. Menurut kepercayaan tradisi lama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sosok Brayut ini memiliki kekuatan magis yang berpengaruh baik bagi wanita yang sedang mengandung ataupun bagi ibu yang belum memiliki keturunan ingin mengandung.
Kehadiran Nyai Brayut yang memiliki 18 anak juga diartikan sebagai symbol Dewi Kesuburan. Nyai Brayut tidak pernah mengeluh, ia adalah sosok dewi pelindung yang selalu melindungi anak-anaknya. Meskipun tidak semua anak dilahirkan memiliki tabiat yang sama, ia selalu membimbing menuju ke jalan yang benar.
Karena itu, Grace menggambarkan sosok Nyai Brayut dengan deformasi bentuk yang masih senada, namun terdapat perbedaan yang memperlihatkan pencapaian akurasi terhadap simbol maupun tanda-tanda sebagai bahasa ungkap karyanya. Bila diperhatikan jumlah anak, Grace menghadirkan 17 anak, kurang satu anak dari jumlah semestinya. Jumlah ini tentu ada kaitannya dengan semangat kemerdekaan Bangsa Indonesia yaitu 17 Agustus 1945. Nyai Brayut biasanya berperawakan ceria, gemuk dan berisi. Dalam karya Grace digambarkan kurus dengan wajah penuh beban. Anak-anak yang biasanya dengan kepala rambut kuncung, digambarkan dengan beragam karakter anak-anak Indonesia dengan segala latar belakang kekiniannya.
Sedangkan mengenai konteks simbol-simbol, terdapat dialog yang mengarah pada dinamika kultur dan perubahannya. Perhatikan bagaimana ia meletakkan kain batik penuh tambalan bermotif Parang Rusak untuk menggendong anak-anaknya. Kain batik motif Parang Rusak sendiri mengingatkan pada maha karya Panembahan Senopati.
Dikisahkan, ketika Panembahan Senopati melakukan meditasi di Pantai Selatan, ia melihat dan memperhatikan karang yang terus menerus dihantam ombak besar hingga rusak. Pola menyerupai huruf S yang dipakai sebagai pola dasar diambil dari ombak yang menggambarkan semangat pantang menyerah. Sedangkan jalinan huruf S yang tidak putus menggambarkan upaya memperbaiki diri, memperjuangkan kesejahteraan dan juga jalinan tali persaudaraan. Dari ingatan kultural ini selanjutnya menjadi inspirasi besar kain batik nusantara yang melegenda dan bisa dijumpai sampai sekarang.