Ketika saya diberi hadiah Djaja Tjandra Kirana (72) sebuah katalog pameran tunggalnya tahun 1999 di The Chedi Ubud Bali, saya mulai meraba-raba bahwa ia adalah perupa yang bukan hanya paiawai melukis, namun juga seorang pemikir kebudayaan yang memiliki kerinduan akan kemaha indahan pesona budaya Indonesia.
Sesungguhnya minat besarnya terhadap keindahan budaya Indonesia muncul saat seringnya Tjandra melakukan pemotretan, dimana ia sendiri juga seorang fotografer profesional. Ia sangat tertarik pada tampilan busana, disamping kecantikan dan keanggunan sang pemakainya. Ketika object dalam fotografinya disertai elemen-elemen pendukungnya berbicara, disinilah ia seperti memiliki kemampuan berlebih dalam memindahkan gagasan ke dalam karya lukisnya.
Tjandra memang menemukan komposisi indah ketika meletakkan objek dalam berbagai phose baik tunggal maupun berlebih, baik itu orang ataupun benda-penda seperti vas bunga dengan beragam jenis-jenis bunga, ukiran, wayang kulit jawa dan wadah sarana sembahyang umat hindu di Bali, topeng serta patung-patung kayu dan terakota. Bagi Tjandra kesemuanya itu akan sangat menarik bila saling ditemukan, karena akan berdialog satu sama lainnya. Benda-benda etnis Indonesia menurut Tjandra sungguh sangat memikat karena menghadirkan komposisi indah yang meruang.
Karya-karya Tjandra periode akhir tahun 80-an sampai akhir tahun 90-an dalam penggarapannya menggunakan medium cat air, oil dan akrilik, baik di atas kanvas, silk dan kertas kebanyakan berbicara tentang pesona wanita dalam berbagai gaya tradisi maupun peranannya. Mereka duduk bersimpuh, persiapan menari sampai menari, bersama pasangan hidupnya maupun bersosialita dalam kelompoknya. Sedangkan obyek di luar manusia yaitu hadirnya vas dan bunga beserta benda-benda etnis menyatu membentuk keseimbangan yang menawan.
Sepintas bila diamati keindahan tekstile nusantara seperti batik jawa, batik bali, songket, tenun pegringsingan, tenun sumba dan timor bisa dijadikan penanda karya Tjandra dalam sebuah identitas. Tapi, bila dilihat secara keseluruhan sebenarnya unsur bunga juga mengambil peran sebagai simbolisme yang sangat kuat dalam bahasa ungkap. Kenapa harus berbicara bunga ?, menurut Tjandra bunga adalah simbol kedamaian yang telah terbukti mampu menghantarkan pikiran dan jiwa dalam mencapai ketenangan.
Kenapa bunga diletakkan di telinga, di rambut atau pada ragam hiasan, itu tidak lain ketika aroma harum bunga yang tercium oleh hidung dengan sendirinya akan menghantarkan impuls-impuls ketenangan pada sel-sel syaraf, dan bila sesorang mendapat ketenangan dan terjaga ketenangan jiwanya, maka ia akan merasa damai, kata Tjandra.
Saya baru menyadari, sebetulnya Tjandra tidak sedang berbicara spiritualitas melalui karyanya, namun saya dapat menarik pembacaan bahwa ada maksud tertentu juga yang ingin ia sampaikan melalui karyanya kepada publik agar mendapat kenyamanan, ketentraman dan kedamaian jiwa. Di saat laju moderenitas terutama di era budaya serba digital, tradisi yang menonjolkan keindahan dan kehidupan penuh damai telah tergeser dengan ciptaan-ciptaan budaya instant yang jauh dari akar jati diri kultur bangsa. Rasa rindu untuk membangkitkan pesona Indonesia sebagai spirit baru dalam bagian yang tak terpisahkan dari pengalaman hidupnya, oleh Tjandra ingin dihadirkan kembali. Ini adalah dialog penting melihat kembali karya Tjandra yang hampir dua dasa warsa telah berjalan berevolusi sampai karya terkini.
Bila mengingat karya-karya yang sebagian besar berfokus pada wanita mengenakan pakaian tradisi dengan beragam motif kainnya Tjandra jadi teringat dengan ibu kandungnya Wong Yan Phing yang pernah meraba karyanya dan mengatakan padanya bahwa ia telah menempel kain dalam kanvas lukisannya. Karya yang ia selesaikan tahun 1998 itu selalu membuatnya tersenyum bahagia mengenang ibunya yang dulu tidak pernah menyetujui dirinya menjadi seorang pelukis.
****
Tjandra paham benar untuk meletakkan unsur-unsur tradisi budaya sebagai bagian penting dalam pembicaraan karyanya adalah tidak mudah. Setiap benda bukan hanya hadir mewakili tempat dan peristiwa yang harus ia hidupkan dalam ruang baru. Lihat misalnya, pada lukisan Soka Flower, cat air di atas kertas yang ia buat tahun 1998, patung yang melambangkan singa ambara raja diletakkan disamping sekuntum bunga soka merah (Saraca indica) di atas meja etnis yang beralaskan kain sumba dengan ornament dinding bergambar rangkaian lotus ungu. Dan juga seperti pada karyaThe Purple Vase, cat air di atas kertas yang ia buat tahun 1999. Pada karya ini tidak hanya berfokus pada vas bunga yang berwarna purple, namun bagaimana patung kijang kencana sebagai symbol dari kisah penting terlepasnya Shinta dari tangan Rama oleh tipu muslihat Rahwana, serta pintu ukiran angkul-angkul Bali utara yang bercorak emas dan merah.
Dari dua karya ini sebelum membaca karya serupa, dapat dipahami bahwa kekuatan kultur nusantara bila ditempatkan dalam satu rangkaian bahasa rupa seperti lukisan Tjandra akan menjadi bagian penting dalam memahami sensitivitas membicarakan identitas budaya secara ke dalam. Maka tak heran ketika mendiang Arie Smith yang hadir pada pembukaan pamerannya di The Chedi harus diam berlama-lama di hadapan setiap karya demi karyanya. Arie Smith sangat menaruh perhatian pada gagasan Tjandra dan sampai-sampai ia mengajak Tjandra untuk membicarakan satu karya yang disukai dan akhirnya dibeli.