KETIKA sore menjelang tutupnya Museum Le Mayeur. Ruang imajiku tiba-tiba bergerak setelah membaca kisah dan melihat karya-karya Le Mayeur di dalam buku yang baru kudapat sebagai hadiah ulang tahun dari sahabatku. Aneh, ruang imajiku ternyata telah menyusup ke dalam ruang perasaan, sepertinya saya harus mengkontak Le Mayeur seperti halnya ketika saya ingin mengunjungi sahabat senimanku. Aneh, saya tidak pernah berfikir sebelumnya dimana perasaan itu muncul sangat natural. Mungkin jika Le Mayeur masih hidup, saya pasti menelponnya dengan bilang “Tuan apa bisa saya berkunjung ke studio tuan sore ini”.
Kata hati tidak bisa dipungkiri, perasaan yang bergeser ke firasat mengatakan bahwa Le Mayeur telah menungguku di studionya. Maka berangkatlah saya ke sana. Melewati Jalan Hang Tuah dan parkir di Hotel Grand Ina Bali Beach, kususuri gang artshop sepanjang seratus meter menuju Pantai Sanur.
Tibalah saya di museum Le Mayeur, halaman museum sangat sepi dan memang tidak ada pengunjung kecuali satu pengunjung wanita Jepang yang sedang bermain dengan dua ekor anjing kampung. Saya mencoba bertanya pada tamu itu, dia mengatakan hanya sedang duduk-duduk saja, memberi makan anjing yang merupakan sahabatnya. Nampaknya wanita Jepang itu sedang tidak menikmati museum, kebetulan ia menginap di home stay yang berada di samping museum. Jadi ceritanya hanyalah saya yang sedang berkunjung di museum itu.
Langkahku di halaman museum tiba-tiba harus kuhentikan, sudut-sudut museum yang dulunya merupakan studio sekaligus rumah tinggal Le Mayeur dan Ni Pollok satu per satu mulai bicara. Saya menghaturkan salam hormat dengan kedua tangan kucakupkan di depan dada, serta berucap dalam hati "Tuan saya sudah tiba".
***
Kulalui penasaranku sore itu mengunjungi museum yang memang sudah lama tidak kudatangi. Seperti biasa begitu masuk halaman, saya langsung menuju kolam kecil yang menjadi tempat dimana monumen yang menempatkan patung setengah badan Le Mayeur dan Ni Pollok berada. Saya berdoa dalam hening sekaligus mengenang kisah cintanya Le Mayeur terhadap Ni Pollok.
Setelah berdoa tiba-tiba saya mengenang kembali sejarah kedatangan Le Mayeur ke Bali. Le Mayeur seniman asal Brussel Belgia yang memiliki nama lengkap Adrien Jean Le Mayeur de Merpres ini datang ke Bali pada tahun 1932 melalui jalan laut dan berlabuh di Kota Singaraja. Setelah tinggal beberapa hari di ibu kota Kepulaun Sunda Kecil, ia kembali melanjutkan perjalanan menuju Denpasar dan kemudian menyewa sebuah rumah dan menetap selama empat bulan di Banjar Kelandis, Denpasar.
Di Banjar Kelandis, Le Mayeur bertemu dengan gadis 15 tahun penari legong yang sangat berbakat. Penari legong yang bernama Ni Nyoman Pollok selanjutnya menjadi model karya-karya lukisannya. Sebuah awal keterkejutan bagi Ni Pollok dimana dirinya bisa memerankan dalam laku seni tidak hanya di atas pentas pertunjukkan namun kini di atas kanvas. Ni Pollok dalam perjumpaannya sangat tulus mengabdikan dirinya, ia menjadi bagian penting eksplorasi yang mencitrakan karya-karya baru pelukis Belgia yang dikenalnya. Pesona kecantikan dan kemolekan Ni Pollok kala itu benar-benar telah mencuri hati Le Mayeur. Seiring karya-karya tentang dirinya satu persatu diselesaikan, maka api cinta keduanya kemudian juga tumbuh dan bersemi, bak bunga-bunga yang sedang mekar di taman sari. Hanya berselang tiga tahun bersemi cinta mereka, akhirnya Le Mayeur mempersunting Ni Pollok menjadi istrinya.
Saya mulai meninggalkan area kolam kecil di depan monumen. Sambil berjalan mundur saya pandangi kembali kedua patung Le Mayeur dan Ni Pollok, ada vibrasi kuat yang sangat luar biasa bisa saya rasakan, tanpa sadar tiba-tiba hati saya bicara "anda punya kehidupan yang sangat indah bersama Ni Pollok tuan".
***
Sebuah catatan, lukisan-lukisan Le Mayeur dengan figur Ni Pollok sebagai model untuk pertama kalinya pada tahun 1933 dipamerkan di Singapura. Dari pameran ini Le Mayeur meraih sukses besar. Ia mulai dikenal publik pencinta seni rupa dunia, dan namanya mulai diperbincangkan, karena karya-karyanya memberikan citra unik atas figur-figur Ni Pollok dengan alam dan budaya Bali yang menjadi latar belakangnya. Dari pameran pertama itu Le Mayeur sangat bahagia, disamping ketenaran yang tercipta, ia juga mendapatkan materi yang dapat digunakan untuk membangun studio dan rumahnya.