Tadinya saya merencanakan menutup tahun ini dengan menuliskan artikel tentang hari ibu dan makna natal, biar pas dengan momentumnya. Tapi tulisan saya tidak kelar-kelar karena sibuk wira wiri.
Sama dengan buku perjalanan Eric Weiner yang menjelajahi sumber kreatif para genius dari Athena kuno hingga silicon valley. Buku yang saya beli di awal tahun 2023 itu belom juga kelar saya baca sampai hari ini, karena saya sibuk wira wiri ke buku-buku lain yang lebih mudah di cerna.
Tapi buku ini juga yang menginspirasi saya menuliskan artikel yang akan menjadi tulisan terakhir saya di tahun ini. Tulisan yang dari judulnya saja sudah mengundang rasa penasaran. Iya kan ?
Kalau rasa penasaran sudah semakin membubung tinggi, tahan dulu. Kita masuk intro dulu, biar tidak stroke. Hehehe.
Penghujung tahun ini banyak yang terkejut mengamati langkah-langkah catur orang nomor satu di negeri ini yang penuh kejutan. Sebagian orang mengartikannya sebagai langkah-langkah taktis, sebagian lagi menganggapnya langkah bunuh diri. Sebagian memuji, sebagian lagi menghakimi. Yang pasti, langkah-langkah itu memang menuai kontroversi.
Tenang saja, saya tidak tertarik membahasnya. Saya lebih tertarik membahas hubungan pilpres, Athena kuno dan kata "idiot". Lebih gurih sekaligus aman dari ancaman kolesterol hehehe.
Eric Weiner, penulis buku The Geography of Genius - buku yang sedang (dengan susah payah) saya baca, di salah satu halaman bukunya mengulas sepintas tentang kata idiot dalam konteks Athena kuno.
Konon penduduk Athena kuno adalah penduduk yang sangat aktif berpartisipasi dalam masalah publik. Disisi lain mereka adalah kelompok sosial yang sangat kompetitif. Tapi sifat kompetitif itu tidak ditujukan untuk kepentingan individu, tapi untuk kepentingan kota Athena. Kepentingan komunal.
Mungkin itu sebabnya, Athena kuno menjadi pusat peradaban pada jamannya, tempat kelahiran sains, filsafat dan asal mula peradaban Barat yang di kemudian hari menjadi pionir dalam kemajuan teknologi modern.
Lantas apa hubungannya dengan kata idiot ?