Lihat ke Halaman Asli

Ketika Senja Tiba

Diperbarui: 5 November 2021   13:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: dreamstime.com

Aku menatapnya.

Ah, dia sungguh sangat berbeda dari puluhan tahun yang lalu. Guratan tak lagi hanya disudut mata atau dilekuk bibir, tapi di setiap lipatan kulit yang mulai menua.

Uban tak lagi satu dua, tapi sudah merajalela membuat rambut hitam legam yang dulu menjadi mahkota, kini berganti warna putih abu-abu.

Aku menatapnya dengan sejuta rasa. Semuanya sudah sangat berbeda. Dia tak lagi sama seperti dulu. Lihatlah kursi roda yang didudukinya kini, usia dan cerita telah mengkhianatinya. Ia tak sekokoh dulu, tak mampu lagi mengalirkan kekuatan di kedua kakinya.

Aku menatapnya, bayanganku dicermin.

Betapa waktu bergulir begitu deras, dan aku sudah menua tanpa terasa. Besok aku akan merayakan ulang tahunku yang ke tujuh puluh tahun. Ulang tahun pertamaku ditempat ini. Tempat yang sejak seratus hari yang lalu menjadi rumahku yang baru.

"Mama yakin tidak mau merayakan di rumah saja? Mama bisa undang teman-teman mama ke rumah," kata Hania waktu itu, mencoba membujukku untuk berubah pikiran. Aku menggelengkan kepala.

"Tidak sayang, mama ingin merayakan disini. Kalau dirumah, banyak teman mama yang kesulitan untuk datang. Kau khan tahu kondisi mereka, banyak yang perlu dibantu. Nanti malah merepotkan." Kataku sembari mengelus-elus pundaknya.

Kulihat raut wajahnya yang agak muram dan bimbang. Aku memahami perasaannya, tapi kadang ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar perasaan, bukan ?

Hania, putri tunggalku. Aku dan dia nyaris tak terpisahkan. Aku bahkan dengan sepenuh kesadaran melepaskan karierku yang waktu itu sedang pada puncaknya, demi dia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline