Lihat ke Halaman Asli

yswitopr

TERVERIFIKASI

Ahok atau Jokowi?

Diperbarui: 12 November 2016   22:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga 1211, dinamika 411 masih terus berkembang dan semakin ramai. Berbagai media masih mengupas persoalan ini, tentu dengan berbagai frame yang telah diciptakan sedemikian rupa.

Dari berbagai pembicaraan, saya sampai pada beberapa pandangan. Pertama, disadari atau tidak, kelompok Muslim terbagi menjadi 3 bagian, yaitu mereka yang menganggap Ahok telah melakukaan penistaan, mereka yang menganggap Ahok tidak melakukan penistaan, dan mereka yang adem ayem atas persoalan tersebut.

Kedua, tangkap dan penjarakan Ahok. Kecenderungan ini semakin mudah ditangkap. Arahnya bukan lagi soal proses kasus Ahok, tetapi memenjarakan Ahok. Jika arahnya adalah proses Ahok, maka mestinya gerakan itu selesai. Faktanya, Ahok sudah diproses. Bahkan, untuk memenuhi tuntutan itu, Kapolri melakukan tindakan di luar kewajaran.

Bagi saya, tuntutan yang semakin kentara ini bisa menjadi preseden buruh bagi penegakan hukum di Indonesia. Mari berpikir jernih untuk masalah ini. Apa jadinya hukum di Indonesia ini jika sebuah proses hukum dipengaruhi oleh tekanan dari masyarakat?

Di satu sisi, ada tuntutan supaya Presiden tidak mengintervensi. Di sisi lain, sekelompok masyarakat melakukan intervensi dengan melakukan aksi ini dan itu.

Ketiga, pergeseran tujuan. Awalnya adalah tuntutan untuk Ahok. Dalam perjalanan waktu, tuntutan berubah dan mengarah kepada Presiden RI, Bapak Jokowi. Waktu orasi, Fahri Hamsah sudah menegaskan cara melengserkan Jokowi: parlemen ruangan atau parlemen jalanan.

Pergeseran arah ini menarik untuk ditelaah. Sejak awal mula, kedua orang ini sudah mengalami penolakan. Penolakan-penolakan itu terus berlanjut. Hingga sekarang, masih banyak yang menilai Jokowi gagal sebagai Presiden, maka layak dilengserkan. Demikian juga Ahok. Sampai ada Gubernur tandingan. Meski, gubernur tandingan ini tidak ada gemanya. Ini semua menunjukkan betapa kuatnya penolakan pada kedua tokoh ini.

Kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Ahok menjadi sebuah momentum untuk mencapai tujuan semula: penolakan pada Jokowi dan Ahok. Sekali tepuk dua-duanya kena.

Kegaduhan demi kegaduhan akan terus berlanjut. Suara-suara sumbang akan terus berkumandang lebih kencang dan semakin kencang. Jokowi tidak bisa fokus lagi untuk melanjutkan program-programnya. Stabilitas nasional pun bisa terganggu. Jika demikian kondisinya, jangan-jangan akan muncul hastag #JokowiGagal. Endingnya?

Sementara bagi Ahok, kegaduhan-kegaduhan yang terjadi akan menjadi tekanan yang demikian kuat. Desakan-desakan untuk mundur, walau melawan hukum, akan semakin kuat. Di sisi lain, situasi tersebut justru bisa menguntungkan. Ahok berada dalam posisi dilemahkan. Muncul simpati. Akhirnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline