Selepas bermain di Pastoran Gereja Promasan, saya pergi menyusuri sungai yang ada di depan gereja. Ada jalan membelok sebelum jembatan. Beberapa meter saya menjumpai sebuah prasasti. Ada tiga nama di sana. Nama paling atas adalah Purnomo Yusgiantoro, mantan Menteri Pertahanan. Dibawahnya ada nama Mgr. Pujasumarta, Uskup Agung Semarang yang telah wafat. Yang terakhir adalah nama Romo Paroki Promasan.
Di kanan prasasti ada jalan berundak yang cukup tinggi. Di ujung kiri ada jalan menuju kamar mandi. Sedangkan di tengah ada jalan menuju kompleks Padusan Sendangsono. Halaman yang sangat luas. Di bagian tengah dan kanan kirinya ditanami pohon perindang. Di sinilah para peziarah dapat melepas penat.
Persis dibagian tengah ada kolam kecil. Ada sebuah simbolisasi pembersihan yang hendak ditawarkan pada tempat ini. Di halaman ini pula ditempatkan tempat duduk yang bisa digunakan oleh para peziarah. Duduk di tempat ini setelah perjalanan jauh menjadi sesuatu yang menyenangkan. Sejuknya hawa pegunungan demikian terasa.
Halaman tentu bukan bagian inti. Bagian inti dari kompleks padusan ini adalah areal di ujung halaman. Ada dua gapura kembar berdiri gagah. Kedua gapura ini merupakan pintu masuk menuju areal padusan. Sebelah kiri untuk laki-laki. Sementara sebelah kanan untuk perempuan. Keduanya dibangun kembar. Pembagian ruang nya sama.
Ada tiga bagian di setiap areal. Yaitu tempat membersihkan diri berupa kamar dengan kolam kecil; tempat membasuh muka, dan kamar kecil berupa pancuran. Di areal ini para peziarah dapat merasakan kesejukan air pegunungan alami, baik dengan mandi atau sekedar membasuh muka. Kesegaran airnya seolah melepaskan segala penat dan beban.
Setelah merasa cukup, saya pun melanjutkan perjalanan. Ada dua jalan. Yang pertama di samping prasasti. Yang kedua kita bisa melewati jalan di tepi halaman. Jalan berupa terasiring ini memudahkan para peziarah.
Sembari mengadakan doa jalan salib, saya kagum dengan penataan yang dibuat. Jalan yang dahulu tidak teratur karena juga menjadi jalan kampung, kini tertata rapi. Bukan hanya jalan, di sebelah kanan dan kiri juga ditata sedemikian rupa. Sendangsono telah berubah.
Takterasa, saya sampai juga di kompleks Sendangsono. Hawa segar membuat saya tidak merasa capek. Ada pemandangan unik. Tahun 2009 dibangun sebuah area untuk difable. Arsitektur lama tidaklah nyaman bagi difable. Dengan sedikit keberanian, arsitektur yang ada disesuaikan sehingga semakin ramah dengan siapa pun. Kini, sudah ada tulisan penanda untuk itu.
Ah, Sendangsono kini… mencoba melawan arus kemapanan dengan menawarkan makna peziarahan sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H