Sejarah kekristenan mencatat bahwa ketika agama berkuasa, maka seluruh sendi-sendi kenegaraan akan demikian diwarnai oleh ajaran-ajaran agama. Dikatakan sebagai abad kegelapan. Mengapa bisa disebut demikian? Salah satunya: tidak bisa dipisahkan mana beragama dan mana bernegara. Keduanya demikian menyatu. Negara masuk dan mempengaruhi agama. Sebaliknya, agama masuk dan mempengaruhi negara. Hukum agama menjadi hukum negara. Ini hanya terjadi ketika agama menjadi agama negara.
Mengingat dan merenungkan itu, saya teringat dengan sebuah peristiwa yang beberapa hari lalu terjadi di Papua, Solo, dan Jogjakarta. Peristiwa kerusuhan di Papua telah menumbuhkan solidaritas di Solo. Setelah ada aksi di GIDI solo, dilanjutkan dengan apel siaga bertajuk Apel Siaga Umat Islam Soloraya: Solidaritas untuk Kaum Muslimin Tolikara-Papua. Menurut beberapa teman yang memberi informasi, sempat muncul rasa was-was kalau terjadi sesuatu. Untunglah tidak terjadi sesuatu yang merugikan.
Yang bagi saya unik tentu kejadian yang di Jogja. Uniknya adalah apa persoalan utamanya. Sebelum tragedi Tolikara, ada peristiwa pembubaran kegiatan camping di daerah lereng Gunung Merapi. Alasan polisi: tidak ada ijin kegiatan. Faktanya ada sekelompok massa yang memberikan tekanan untuk membubarkan kegiatan tersebut.
Sesudah tragedi Tolikara, terjadi lagi peristiwa yang sedikit mengernyitkan dahi. Pembukaaan pameran lukisan di Rumah Budaya Tembi nyaris gagal. Mengapa nyaris? Pembukaannya sih tetap jalan, tetapi ada satu perfomance yang tidak boleh dipentaskan. Fakta: peristiwa pameran terjadi di rumah budaya, dalam hal ini Rumah Budaya Tembi. Kegiatan: pameran lukisan dan perfomance art. Alasan polisi: panitia belum meminta ijin kegiatan. Kapolsek Sewon membantah jika peristiwa tersebut dikaitkan dengan agama tertentu. Panitia memberikan alasan berkaitan dengan keamanan. Jika berkaitan dengan keamanan, ada apakah?
Jadi teringat saya dengan sebuah status yang dibuat salah satu pentolan Kompasiana di facebooknya. Sebuah status kegelisahan.
NKRI jelas bukan negara agama. Jika demikian, mengapa ada upaya-upaya untuk mempengaruhi sendi-sendi bernegara dengan nilai-nilai agama? Bahkan menggunakan simbol-simbol agama untuk menekan yang lainnya? Ada banyak orang mengungkapkan gagasannya begini: satu disakiti, yang lain akan merasakan sakit. Maka jangan salahkan kalau ada balasan. Seperti inikah makna persaudaraan? Bagiku, ini persaudaraan buta, tidak mencerdaskan.
Mengapa? Saya hanya berlogika sederhana kok, tidak muluk-muluk. Mari jujur dengan pikiran kita sendiri. Atas tragedi Tolikara misalnya. Siapa pelakunya? Saya yakin, banyak di antara kita akan menjawab dengan spontan: orang Kristen. Apakah begitu? Silahkan Anda check sendiri kebenarannya. Jika Anda melihat orang dengan atribut seperti ini, lalu ditanya siapa mereka, kira-kira apa yang spontan di pikiran Anda? Saya yakin, sebagian akan menjawab spontan: orang Islam. Apakah begitu? Silahkan Anda check sendiri kebenarannya. Dengan berbekal pikiran seperti itu, siapa yang pertama akan Anda temui sebagai tempat pelampiasan kemarahan Anda?
Jika kita bisa mengatakan pembenaran bahwa itu bukan Islam; itu bukan Kristen, mengapa kita tidak bisa mengatakan bahwa Amerika bukan Kristen; Arab bukan Islam? Kalau kita masih ngeyel bahwa Amerika adalah Kristen, ya jangan disalahkan kalau ada secuil atribut Amerika pasti berbau Kristen. Misalnya, tentara Amerika membunuh warga sipil. Ya jangan disalahkan kalau ada orang ngomong orang Kristen membunuh warga sipil. Sebaliknya, jangan disalahkan kalau ada atribut Arab pasti dikaitkan dengan Islam. Misalnya, ada orang Arab membunuh TKW Indonesia. Ya jangan disalahkan kalau ada orang ngomong orang Islam membunuh TKW Indonesia.
Karena ulah satu atau dua orang, semua kena akibatnya. Siapa salah? Otak kitalah yang keliru.
Bagi saya, cukuplah saya membantu orang yang jatuh dari sepeda tanpa harus saya tanya terlebih dahulu agamanya apa. Cukuplah saya memberikan sapaan, tanpa harus bertanya terlebih dahulu agama dia apa. Cukuplah saya bermasyarakat tanpa harus membawa embel-embel agama yang saya anut. Cukuplah saya menganggap agama seperti alat kelamin. Saya punya alat kelamin. Titik. Tidak perlulah alat kelamin itu saya pertontonkan kepada banyak orang. Tidak perlulah saya perbandingkan dengan milik orang lain. Jika pun saya punya penilaian, cukuplah itu saya simpan dalam hati saya.