Lihat ke Halaman Asli

yswitopr

TERVERIFIKASI

Perayaan Cap Go Meh, Tarik Ulur Agama dan Budaya

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1328550983122051378

[caption id="attachment_159530" align="aligncenter" width="630" caption="milik masyarakat"][/caption]

Hari ini adalah hari kelimabelas dalam bulan pertama penanggalan Tionghoa. Hari kelimabelas ini lebih sering disebut sebagai Cap Go Meh. Biasanya, malam kelimabelas ini dirayakan dengan meriah. Hal ini disebabkan karena hari kelimabelas merupakan akhir dari perayaan tahun baru Imlek. Dengan kata lain, setelah Cap Go meh berakhirlah seluruh perayaan tahun baru Imlek. Salah satu ciri khas yang ada dalam perayaan Cap Go Meh adalah kebiasaan memasang lampion dan pesta makanan onde-onde. Tidak mengherankan jika kemudian, perayaan Cap Go Meh identik dengan festival lampion. Banyak orang berduyun-duyun mendatangi pusat pesta lampion. Tentu tidak hanya menyaksikan lampion yang beraneka warna, tetapi juga untuk menikmati berbagai bentuk kebudayaan yang ditampilkan. Cap Go Meh menjadi sebuah perayaan rakyat. Fakta perayaan Imlek sampai dengan Cap Go Meh mengusik saya. Apakah perayaan itu terkait dengan sebuah ritual keagamaan [termasuk salah satu hari raya agama tertentu] ataukah telah terasimilasi dalam sebuah konteks budaya yang telah menjadi milik masyarakat? Rupa-rupanya, ada klaim yang menunjuk bahwa Imlek merupakan salah satu perayaan keagamaan Konghucu. Penetapan tahun baru Imlek ditentukan menurut tahun kelahiran Nabi Kongzi [551 SM]. Karena awal tahun didasarkan pada tahun kelahiran sang nabi, maka penanggalannya kemudian diberi nama penanggalan Khongcu-lek. [caption id="attachment_159531" align="aligncenter" width="630" caption="aksi barongsai di depan klenteng"]

13285510831389036265

[/caption] Di sisi lain, berdasarkan realita, Imlek [dan tentu saja perayaan Cap Go Meh] merupakan sebuah fenomen budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Latar belakangnya adalah keberhasilan Tionghoa dalam proses melebur menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Proses asimilasi yang telah dibangun sejak semula sedikit demi sedikit mulai masuk dalam konteks budaya Indonesia. Kran asimilasi itu semakin terbuka lebar ketika Presiden Abdurahman Wahid menjadikan Imlek sebagai hari libur bagi yang merayakan. Keputusan ini semakin dikuatkan oleh Presiden Megawati yang menjadikan Imlek sebagai salah satu hari libur nasional. Mulanya, ciri khas Cap Go Meh adalah festival lampion dan pesta onde-onde. Perlahan-lahan, ciri ini mendapat bentukanya dalam konteks budaya Indonesia. Pesta onde-onde mulai bergeser dan digantikan dengan makan lontong atau ketupat. Sebuah proses budaya sekaligus menunjukkan bahwa etnis Tionghoa telah mengakar dapat budaya Indonesia. Pesta lampion masih terjadi di beberapa daerah, tetapi itu sebatas pada tempat-tempat tertentu. Pesta lampion ini cenderung bergeser menjadi sebuah perayaan atau lebih tepat disebut sebagai gelar budaya. Dari sebuah perayaan yang berpusat di tempat ibadat bergeser ke ruang publik. Sadar atau tidak sadar, pergeseran tempat ini pun membawa sebuah pergeseran nilai. Ketika sebuah perayaan diadakan di sebuah tempat ibadat maka nilai religiusnya menjadi semakin kuat. Ketika perayaan mulai bergeser ke area pubik, maka nilai religiusnya menjadi semakin berkurang. Sebuah perayaan yang dilangsungkan di tempat publik maka menjadi milik publik. Siapa pun bisa ikut menikmatinya tanpa takut terjebak pada nilai religius yang dihayatinya. Kesan inilah yang saya temukan dan rasakan ketika mengikuti perayaan Cap Go Meh di Magelang, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Perayaan Imlek dan Cap Go Meh semakin menjadi milik masyarakat. Tidak mengherankan jika masyarakat pun sedikit demi sedikit mulai ikut terlibat di dalamnya. Mereka tidak lagi melihat perayaan itu sebagai sebuah perayaan ritual keagamaan, tetapi mereka menyambutnya sebagai sebuah pentas budaya. Dari tahun ke tahun, partisipasi masyarakat semakin kentara. [caption id="attachment_159532" align="aligncenter" width="630" caption="liong berbadan anyaman daun"]

13285512011331238463

[/caption] Tidak mengherankan jika pada perayaan Cap Go Meh tahun ini, muncul Liong dengan nuansa Jawa dengan iringan yang identik dengan budaya Jawa pula [musik pengiring jathilan]. Sebuah kepala naga versi jawa muncul di tengah dominasi liong asli. Uniknya, tubuh liong ini terbuat dari anyaman daun. Liong ini dibawa tidak dengan tongkat, tetapi langsung dibawa oleh beberapa orang. Mereka masuk ke kepala dan badan liong. Dengan diiringi musik Jawa, mereka meliuk-liuk layaknya liong. Keberadaan mereka cukup menghibur masyarakat. Para pemain barongsai pun tidak lagi didominasi oleh etnis Tionghoa. Banyak di antara para pemain yang berasal dari etnis Jawa. Tanpa ragu mereka bermain dan menghibur masyarakat sembari mengambil angpao yang dipasang di depan toko sepanjang jalan yang dilalui. Dengan terampil mereka mengambil satu per satu angpau yang disediakan para pemilik toko. Tingkah-tingkah lucu mereka tunjukkan terutama ketika angpau yang hendak mereka ambil terlalu tinggi. Tingkah unik dan lucu mereka tunjukkan untuk menutupi kesulitan mereka mengambil angpau itu. [caption id="attachment_159534" align="aligncenter" width="630" caption="aksi baringsai"]

13285512691726739122

[/caption] Tidak hanya kirab budaya, malam tadi masyarakat juga dimanjakan dengan pesta kembang api di klenteng Liong Hok Bio Magelang. Sementara pesta berlangsung, masyarakat menikmati pemandangan indah di langit dari alun-alun Magelang. Perayaan Cap Go Meh telah usai dengan demikian berakhir pula pesta tahun baru Imlek. Sebuah pemandangan yang menyejukkan karena semua orang dipersatukan dalam sebuah ikatan budaya. Tidak ada lagi Tionghoa-Jawa. Yang ada adalah masyarakat Indonesia. Mereka telah dipersatukan dalam sebuah fenomen budaya. Di tengah carut marutnya kehidupan bernegara, fenomena Imlek dan Cap Go Meh dapat menjadi sebuah media untuk bermenung. Nilai kebhinekaan yang telah mulai luntur harus ditegakkan lagi. Nilai kesatuan dapat diraih dan dinikmati ketika kita tidak mudah terjebak pada sebuah warna hitam-putih. Kita harus berani membebaskan stigma-stigma yang telah melekat dalam pikiran. Dengan melepaskan stigma-stigma itu, niscaya kita akan menemukan keindahan makna keragaman di bumi Indonesia. [caption id="attachment_159535" align="aligncenter" width="630" caption="makna keberagaman...."]

1328551317629815912

[/caption] [caption id="attachment_159536" align="aligncenter" width="360" caption="reog pun ikut memeriahkan kirab budaya cap go meh"]

1328551416735215100

[/caption] [caption id="attachment_159537" align="aligncenter" width="540" caption="kelincahan barongsai mengambil angpau"]

13285515331493305719

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline