Lihat ke Halaman Asli

yswitopr

TERVERIFIKASI

Bentrokan Wartawan-Pelajar SMA 6 Jakarta: Siapa Salah?

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seharian ini saya membaca berita kehebohan “bentrokan” antara pelajar SMA 6 Jakarta dan sejumlah Wartawan pewarta foto. Berbagai tulisan yang merujuk kepada berita itu coba saya baca, baik berita versi pelajar maupun berita versi wartawan. Masing-masing tentu dengan keunikannya dan sudut pandangnya sendiri.

[caption id="attachment_131125" align="aligncenter" width="630" caption="loe ganggu, gua melawan?"][/caption]

Dari sekian berita itu, ada beberapa hal yang mengusik perhatian saya.

1.Wartawan yang menjadi korban pemukulan telah melaporkan kejadian yang menimpa mereka kepada penegak hukum. Mereka melaporkan kejadian itu karena mereka merasa menjadi korban. Pelakunya adalah pelajar SMA 6 Jakarta. Hari ini juga beritakan bahwa beberapa pelajar yang terluka karena “bentrokan” itu melapor ke polisi. Mereka merasa sebagai korban. pelakunya adalah wartawan.

Terus terang, saya jadi bingung aja. Tidak mudah kan menentukan siapa pelaku dan siapa korban. Faktanya jelas: ada yang terluka. Apakah luka itu dapat menjadi dasar untuk dikatakan sebagai korban. Saya sendiri meragukan hal ini. Dalam sebuah kerumunan, apalagi bentrokan, teramat sulit untuk mengidentifikasi. Saya pernah menyaksikan sebuah bentrokan. Saya bisa melihat seseorang yang jatuh tersungkur bukan karena diserang pihak lawan, tetapi karena terkena lemparan temannya sendiri yang berada di belakangnya.

Dari pengalaman itu, saya bisa ngakak membaca komentar yang ada. Ketika disajikan informasi bahwa ada 5 orang korban dari wartawan dan 7 dari pelajar, kesimpulan yang diambil adalah korban terbanyaklah yang menjadi korban. Jumlah korban tidak bisa menjadi dasar untuk menentukan siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban.

2.Argumen dari masing-masing pihak untuk membenarkan tindakannya adalah pembelaan diri karena profesinya diinjak-injak orang lain. Wartawan merasa terusik ketika ada kaset rekaman yang diambil paksa oleh pelajar yang diduga pelajar SMA 6. Sementara pelajar SMA 6 merasa terusik ketika ada rombongan wartawan yang bergerombol di depan sekolah.

Argumen itu tentu masuk akal dan bisa diterima. Dari pihak pelajar, ada yang menulis bahwa sekolahnya telah dikotori. Hal ini terjadi karena ada wartawan yang naik ke atap. Selain itu, ada juga tuduhan provokasi lain yang dilakukan oleh wartawan. Dengan analogi yang kurang lebih sama, kesimpulan yang didapatkan akan sama pula. Kaset yang diambil paksa oleh pelajar berbanding lurus dengan kejadian wartawan yang naik ke atas atap. Harga diri yang di rampas orang lain.

Inilah budaya yang teramat mahal di negeri ini: mengaku salah. Berani mengaku salah hanya mungkin dibuat ketika seseorang mampu mengatasi egoismenya. Membenarkan diri dengan berbagai alasan justru akan memperkeruh suasana. Kalau ada wartawan yang memukul pelajar, apakah ia berani mengangkat jarinya: “Aku memukul pelajar”. Sebaliknya, jika ada pelajar yang melakukan tindakan pengeroyokan kepada wartawan, apakah berani tunjuk jari dan mengaku salah? Toh, ada beberapa foto yang telah beredar. Foto-foto itu jelas menunjukkan apa yang sedang mereka buat.

3.Saya berusaha memahami situasi yang dialami para wartawan. Kebetulan sebagian besar wartawan yang mengalami luka-luka adalah pewarta foto. Kebetulan juga saya suka dengan fotografi. Rasa saya, seorang pewarta foto akan sangat tergantung pada alat yang digunakannya. Berapa harga kamera plus lensanya? Lensa yang berwarna hitam dan putih itu saja ada yang bisa dipakai buat beli motor lho. Itu baru lensa, belum kameranya. Kehidupan mereka sangat tergantung pada alat-alat itu. Kehilangan alat itu berarti kehilangan nafkah. Jika menggunakan analogi mempertahankan diri, sangat wajar.

Sementara dari pihak para pelajar, rasanya kok saya sangat kesulitan untuk bisa memahami peri laku mereka. Apakah mempertahankan harga diri sekolah dapat menjadi alasan masuk akal sementara ada sebagian dari mereka yang selalu merusaknya ketika mereka tawuran itu [dari desas-desusnya, tawuran seperti sudah turun temurun]? Kehadiran wartawan dapat menjelekkan nama sekolah. Bukankah tawuran yang terulang-ulang itu juga telah menjelekkan nama sekolah? Mungkin Anda bisa membantu saya untuk bisa memahami perilaku para pelajar itu?

[caption id="attachment_131126" align="aligncenter" width="630" caption="ga peduli, apapun diembat?"][/caption]

Hati yang jernih adalah obat untuk melihat persoalan yang carut marut ini. Sing salah, seleh.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline