[caption id="attachment_83892" align="aligncenter" width="300" caption="halo matahari di lihat dari kompleks pasar Jumoyo Muntilan"][/caption]
Ada pemadangan cukup unik yang terjadi pada hari Selasa, 4 Januari 2011. Sebuah fenomena alam yang menandai awal tahun 2011.. Fenomena unik itu adalah munculnya cincin pelangi yang mengelilingi matahari. Jika diperhatikan dengan seksama, ada 2 pelangi yang tampak. Pelangi pertama melingkar mengelilingi matahari. Pelangi ini terlihat jelas. sedangkan pelangi kedua terlihat sama-samar dan melingkari matahari secara terpotong-potong alias tidak berbentuk lingkaran utuh.
Seumur hidup, saya baru kali ini melihat fenomena hallo matahari. Pemandangan yang sangat indah. Dibalik keindahan itu, tersembunyi tanya. Saya jadi teringat dengan fenomena sinar matahari sore yang tampak jelas di langit jogja. Peristiwa itu lalu dihubungkan dengan terjadinya gempa bumi yang meluluhl-antakkan Jogjakarta. Apakah fenomena hallo matahari ini berhubungan dengan sebuah kejadian alam yang takmampu masuk dalam rasionalisasi manusia?
Munculnya fenomena hallo matahari mengundang diskusi, mulai dari diskusi ilmiah sampai diskusi kelas warung kucingan. "Ini adalah peristiwa alam biasa, seperti pelangi, hanya saja terjadi di sekitar matahari yang berbentuk seperti cincin," kata Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) DIY Toni Agus Wijaya. Intinya, tidak ada kaitan halo matahari dengan sebuah peristiwa yang akan terjadi, apalagi dikaitkan dengan pagebluk yang akan melanda bumi ini. Berkebalikan dengan itu, fenomena halo ditafsir sebagai ketidakharmonisan yang akan menimbulkan bencana, musibah, pagebluk. Fenomena alam, apapun itu selalu ditafsirkan menurut kacamata alam. Ketika alam memberikan tanda, itu merupakan sebuah isyarat bagi manusia. Ketika manusia kehilangan kemanusiaannya (manungsa kelangan kamanungsane), tidak berpikir positif, apalagi berperasaan positif jangan-jangan itulah pertanda awal ramalan Jongko Joyoboyo mengenai jaman kalabendhu (kehancuran).
Orang Jawa mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya, berupa kegaiban alam semesta. Berdamai dengan alam adalah sebentuk kesejahteraan untuk hidupnya. Harmoni adalah kunci utamanya. ketika harmoni terusik, jangan salahkan ketika kalabendhu itu sungguh-sungguh terjadi: ketika alam dirusak, muncul tanah longsor dan banjir bandang, ketika sungai menjadi tempat sampah masal, terjadilah banjir karena sungai tak lagi mampu menampung volume air, dan masih banyak lagi contoh-contoh sederhana.
Orang Jawa mempunyai cara tersendiri untuk berdamai dan membangun harmoni dengan alam. Memberikan sesaji atau ritual labuhan merupakan bentuk-bentuk perwujudan yang dilakukan orang JAwa untuk mengiktiarkan keinginan mereka berdamai dengan alam. Persoalannya bukan pada ritualnya, melainkan terletak pada hakekat atau intinya. Ketika dilihat sebagai sebuah ritual, terasa tidak ada guna. Apalagi jika sudut pandangnya adalah keilmuan modern atau bahkan agama sekalipun. Namun, ketika kita bisa menggunakan "rasa" dan mencoba menelisik lebih jauh, maka kita akan menjumpai sebuah kearifan lokal yang akan membuat kita tercengang.
Akankah fenomena alam halo mengintroduksi jaman kalabendu di tengah orkestra alam semesta? Atau menjadi panggilan untuk terus mengusahakan harmoni dengan alam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H